Oleh: Rasid Yunus
KPMLhulondalo.com Tulisan singkat ini dipersembahkan sebagai refleksi hari Pahlawan 10 November. Memuat tentang semangat kebangsaan, nilai juang dan warisan semangat yang pernah ditorehkan oleh pejuang sebelumnya. Selanjutnya, selamat membaca.
Ketika mengenal istilah bangsa, secara sadar kita diajak untuk menyelami berbagai peristiwa kebangsaan. Pada dasarnya peristiwa kebangsaan di dunia memiliki kemiripan, yang membedakannya hanyalah aktor, konteks, ruang dan waktu.
Akar fundamental masalah kebangsaan di dunia diasari oleh kebutuhan dasar manusia seperti hak untuk hidup, mendapatkan kenyamanan, memperoleh sandang, pangan, dan papan, kepemilikan properti, serta hak politik kekuasaan.
Term itulah yang melandasi individu maupun kelompok melakukan gerakan, jika keinginan mereka sengaja disumbat oleh oknum maupun lembaga yang dianggap menindas dan menjajah.
Seorang peneliti politik Amerika yang bernama Ben Anderson (2004) mengkategorikan bangsa sebagai "Komunitas Terbayang”. Komunitas terbayang mengandung arti bahwa kondisi material ada untuk memperluas hubungan bersama impersonal yang terjadi secara objektif.
Meskipun sifatnya bayangan, namun kekuatan dan ketangguhan akan dirinya, bangsanya menjadi prioritas utama. Penganut paham ini beranggapan bahwa bangsa tidak bisa dipertukarkan meskipun sering terjadi ekspansi dari bangsa lain.
Steven Grosby (2011) menguraikan bahwa bangsa adalah wilayah komunitas dari tanah kelahiran. Kesadaran akan fakta biologis menuntun seseorang untuk mengisi perjalanan sejarah bangsanya atas nama kesamaan, kesetaraan, keadilan dan keinginan bersama atas dorongan rasa nasionalisme.
Hans Khon (1976) menjelaskan bahwa nasionalisme adalah suatu paham tentang kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara-kebangsaan karena dorongan perasaan mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya. Hal ini merupakan pengabdian tertinggi bagi tumpah darah, bangsa, dan negara.
Semangat kebangsaan inilah yang mendasari gerakan 10 November tahun 1945. Beberapa fakta menyebut peristiwa 10 November di Surabaya tahun 1945 dilatar belakangi oleh beberapa penyebab.
Kedatangan pasukan sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) pada tanggal 25 Oktober 1945 yang bermaksud mengamankan para tawanan perang dan melucuti senjata Jepang.
Pengibaran bendera Belanda oleh pasukan NICA di Hotel Yamato, tentara Gurkha menembaki rakyat pada tanggal 30 Oktober 1945, serta munculnya selebaran ultimatum dari sekutu untuk menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan.
Ultimatum tersebut ditolak rakyat Surabaya dengan alasan bahwa Republik Indonesia sudah berdiri dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) telah dibentuk oleh Negara Indonesia yang telah merdeka pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.
Bung Tomo dengan semangat juangnya, melakukan orasi yang menggelegar melalui radio dan berhasil menyemangati rakyat Surabaya untuk berperang melawan pasukan sekutu. Terjadilah pertempuran dengan jumlah korban sekitar 20.000 orang.
Sesungguhnya fakta di atas bukanlah variabel tunggal penyebab peristiwa 10 November tahun 1945 di Surabaya. Tetapi, peristiwa itu beririsan dengan semangat kebangsaan, cinta tanah air, serta rasa nasionalisme.
Para pejuang saat itu, pasti tidak akan bergerak jika tidak didasari oleh rasa nasionalisme. Jadi silogismenya ialah rasa nasionalisme meskipun nyawa taruhannya.
Saat ini, penting bagi generasi melanjutkan semangat cinta tanah air, semangat kebangsaan, dan semangat nasionalisme melalui bidang dan keahlian masing-masing. Dengan mengedepankan kerja keras, cerdas, dan produktif agar dapat berkontribusi positif pada kebutuhan kebangsaan.
Sayangnya, masih ditemukan pada generasi ini “Mental Kerupuk”. Mental ini ditandai dengan mudah goyah, rapuh, dan tidak kuat menghadapi tekanan masalah dalam dirinya, serta kurangnya rasa kebangsaan.
Kecenderungan kurangnya rasa kebangsaan terkonfirmasi pada sikap dan tindakan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Berapa banyak generasi bangsa saat ini tuntas memahami peristiwa bersejarah bangsanya.
Terkadang dalam perkuliahan di kelas, penulis sering menyinggung kepada mahasiswa pernyataan Branson (1991) tentang warga negara “Hipotetik”. Konsep ini familiar digunakan oleh komunitas PPKn.
Ketika penulis bertanya kepada mahasiswa, apakah kalian semua sudah jadi sebagai warga bangsa Indonesia. Serentak mahasiswa menjawab “Sudah Jadi Pak”. Pertimbangan mereka pada pendekatan administratif-antropologis.
Konsep warga negara “Hipotetik” bukan hanya berkaitan dengan warga negara dalam konteks administratif-antropologis. Tapi karakter memahami secara tuntas akan peristiwa penting yang terekam dari tahun-tahun keramat kebangsaan menjadi ihwal fundamentalnya.
Indonesia sebagai negara bangsa memiliki tahun-tahun keramat diantaranya tahun 1908, 1928, 1945, dan 1998. Berdasarkan deretaan tahun ini, minimal bisa menjawab tiga pertanyaan secara mendalam.
Ada apa dibalik tahun itu? Nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya? Serta bagaimana cara mengaktualisasikan nilai-nilai itu dalam konteks kekinian?. Deretan pertanyaan dan jawaban mendalam merupakan salah satu indikator menuntun akan pemahaman kebangsaan yang tuntas.
Pemahaman kebangsaan yang tuntas, akan melahirkan rasa nasionalisme serta memori kebangsaan yang kuat di tengah proses globalisasi yang semakin menuhankan teknologi.
Posting Komentar