Oleh:
Rustam Tohopi
KPMLhulondalo.com Indonesia
menghadapi berbagai fenomena dampak lingkungan yang signifikan. Deforestasi
merupakan salah satu isu utama, di mana hutan hujan tropis dibabat untuk
kepentingan perkebunan kelapa sawit, kayu, dan pertambangan. Hal ini
menyebabkan hilangnya habitat bagi banyak spesies langka dan mempercepat
perubahan iklim global.
Jika
mencermati kondisi tersebut, maka bencana ekologis di Indonesia seperti
dinyatakan oleh Walhi (2023) dinyatakan Indonesia sudah krisis multidimensi
yang terjadi akibat industri ekstraktif, proyek-proyek ambisius negara
berbentuk infrastruktur dan/atau PSN, hingga proyek solusi palsu iklim transisi
energi adalah bukti kegagalan pada tata kelola sumber daya alam.
Bencana
ekologis, bisa disebabkan oleh ketiadaan kebijakan negara untuk menghindari
terjadinya bencana ekologis. Walhi juga menambahkan bahwa hadirnya perusahaan
perkebunan sawit, perkebunan kayu, tambang, migas yang keberadaannya
mengakibatkan terjadi bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, karhutla
dan lainnya. Karena dilakukan melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan
sehingga menyebabkan rusaknya ekosistem.
Mencermati
rusaknya tatanan ini juga perlu melakukan renungan panjang yang lebih ideal dan
memiliki makna kecerdasan seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan yang
cerdas.
Inllegence
Policy dihadirkan guna memperbaiki system geografis kita dalam keutuhan ketata
negaraan kita. Betapa kita lihat bahwa krisis ini tentu memberi worning bagi
pemipin tentang bencana melanda Indonesia yang hamper 90% didominasi dengan
bencana ekologis.
Padahal
jika kita membaca Infografis yang dikeluarkan oleh BNPB
dengan jelas menunjukkan jumlah bencana setiap tahun didominasi oleh bencana
banjir, longsor dan cuaca ekstrim, namun bagi pemerintah hanya menyebutnya
sebagai bencana hidrometeorologi.
Sehingga dasar inilah regulasi tidaklah menjamin secara benar bahwa bencana
ekologi tersebut belumlah diakui dengan regulasi pada Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kondisi inilah mencuat ke permukaan desas desus masalah karena secara logis
tidak mengakomodir bencana ekologi sebagai bagian dari regulasi negara. Lihat
saja belum ada Upaya-upaya yang lebih spesifik dan sistematis dalam
mengatasinya. Padahal kalua kita lihat intensitas fenomena alam saat ini
mengalami kondisi yang ekstrim bencana ekologis dimasa yang akan datang.
Praktik
pertambangan ilegal di berbagai daerah di Indonesia merupakan masalah serius
yang merusak lingkungan dan berdampak negatif bagi penduduk sekitar.
Pertambangan ilegal biasanya dilakukan tanpa izin resmi dan tidak mematuhi
standar lingkungan dan keselamatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya,
kegiatan ini sering menyebabkan kerusakan ekosistem yang parah, termasuk
deforestasi, erosi tanah, dan pencemaran air.
Pada
Oktober 2021, Presiden Jokowi terang-terangan meminta pemain industri batu bara
baik BUMN maupun swasta agar segera mempercepat realisasi hilirisasi ini.
Padahal, proyek gasifikasi ini mahal dan hasil akhirnya jauh di atas harga
keekonomian.
Studi
lembaga think tank ekonomi energi, Institute for Energy Economics and
Financial Analysis (IEEFA), memaparkan bahwa proyek hilirisasi batu bara
dianggap sebagai proyek yang tidak masuk akal untuk dibiayai, Walhi (2023)
Area
pertambangan ilegal di Indonesia menjadi sumber kerusakan lingkungan yang
berkepanjangan dan kompleks. Aktivitas ini biasanya terjadi di daerah terpencil
yang sulit dijangkau oleh aparat penegak hukum, sehingga pengawasan dan
penegakan aturan menjadi sangat minim. Akibatnya, lingkungan sekitar menjadi
korban utama dari kegiatan tambang yang tidak bertanggung jawab ini.
Khusus
di daerah Provinsi Gorontalo, salah satu yang masih hangat adanya kodisi tanah
lonsor diarea pertambagan dalam aktivitasnya sepertinya “terjaga” dengan hal
tersebut menjadi “early warning system” yang perlu dicermati bahwa kita
perlu melakukan menjaga adanya, supaya pemimpin di daerah perlu memberi
penguatan autority and otonomy dalam menjaga ekosistem kebijakan sebagai
derivasi ke daerah.
Dalam
jangka panjang, semua dampak ini menciptakan siklus kerusakan lingkungan dan
kemiskinan yang sulit diputus. Tanpa upaya yang serius dan terpadu untuk
menghentikan pertambangan ilegal dan memulihkan lingkungan yang rusak, dampak
negatifnya akan terus dirasakan oleh generasi mendatang.
Isu
terkait kecerdasan kebijakan pemerintah dalam menangani dampak lingkungan
menjadi topik hangat di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah
telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah lingkungan, namun
efektivitas dan pelaksanaan kebijakan ini sering kali dipertanyakan.
Salah
satu langkah signifikan adalah penetapan moratorium terhadap izin baru untuk
konversi hutan primer dan lahan gambut. Kebijakan ini bertujuan untuk
mengurangi deforestasi dan melindungi ekosistem kritis. Namun, implementasinya
menghadapi berbagai tantangan, termasuk korupsi, ketidakpatuhan oleh
perusahaan, dan lemahnya penegakan hukum.
Pemerintah
juga berupaya mengurangi dampak pertambangan melalui kebijakan yang lebih ketat
terhadap izin tambang dan pengawasan lingkungan. Namun, tantangan besar tetap
ada, termasuk penambangan ilegal dan konflik antara masyarakat lokal dengan
perusahaan tambang.
Perizinan
diperketat di daerah, namun di pemrintah pusat diambil alih dan di permudah
dalam memberi izin dengan alasan tertentu tidak ada lagi ruang bagi daerah
untuk melakukan intervensi yang baik serta terstruktur dan masif atau dapat
terjadi sebaliknya. Sehingga hanya mengenyangkan pada bagian yang lain tanpa
menjaga keutuhan daerah.
Kesimpulannya,
meskipun ada upaya nyata dari pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah
lingkungan, banyak kebijakan yang masih memerlukan perbaikan dalam hal
implementasi dan penegakan.
Posting Komentar