Oleh : Rasid Yunus
KPLMhulondalo.com Dipastikan daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) Langsung serentak tahun 2024 di Indonesia sebanyak 545 daerah terdiri dari 37 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota. Pelaksanaan pemungutan suara tanggal 27 November 2024 (KPU RI).
Pilkada langsung menjadi topik diskusi paling seksi dari warung kopi sampai hotel berbintang. Suhu politik di daerah meningkat. Perhelatan ini merupakan siklus yang diterima oleh rakyat terutama elit lokal untuk memperebutkan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur. Hajatan ini bukan hanya milik rakyat, tetapi negara mengambil peran penting.
Sebagai masyarakat, tentu kita mengaminkan secara kritis apa yang dikehendaki oleh negara. Apalagi berkaitan dengan pelaksananaan demokrasi dan kepentingan rakyat. Tetapi, demokrasi bukan hanya dilihat pada aspek partisipasi politik saja. Aspek-aspek lain penting untuk ditelaah secara matang.
T.H Marshal membagi tiga macam hak kewarganegaraan, yakni 1) hak political mencakup hak untuk berpartisipasi dalam keputusan dan pemilihan publik; 2) hak sipil meliputi kebebasan dalam berpendapat, gagasan, keyakinan dan properti dan 3) hak sosial seperti hak keamanan, kesejahteraan, kesehatan yang sesuai dengan standar hidup masyarakat (F. Kalidjernih, 2009).
Konsepsi Marshal mencerminkan hak mutlak yang dimiliki oleh masyarakat demokrasi. Perlindungannya pun harus dipastikan sesuai standar hidup masyarakat. Jadi hak politik, sipil, dan sosial merupakan kebutuhan primer masyarakat Indonesia yang memang diatur dalam konstitusi.
Terkait Pilkada 2024, berada pada bayang-bayang tanya. Hal ini wajar, karena hasil pilkada sebelumnya kurang menggembirakan bagi masyarakat. Kebutuhan riil masyarakat diabaikan. Aspek tersebut jika didalami secara kualitatif sepertinya jalan di tempat.
Negara tidak boleh abai terhadap kecemasan publik. Belum lagi bicara timing, kesehatan, kesejahteraan dan substansi demokrasi itu sendiri. Apapun kondisinya, masyarakat tentu berharap bahwa kebutuhan mereka tetap terjamin. Walaupun nada-nada pesimis sering diperdengarkan.
Suara pesimis tersebut tentu beralasan. Karena selama ini produk dari Pilkada langsung kurang berbanding lurus dengan harapan masyarakat. Tidak jarang ditemui pasca Pilkada masyarakat terbelah, bahkan menyisahkan konflik yang berakibat pada jatuhnya korban (harta, luka dan nyawa).
Hasil riset Habibie Centre, Pilkada digelar 2005-2013 telah telah terjadi konflik Pilkada yang skalanya cukup beragam terjadi di 10 Provinsi di Indonesia. Terdapat 585 kasus kekerasan yang mengakibatkan korban tewas sebanyak 47 orang, cedera 510 orang, dan bangunan rusak 416 buah.
Kemudian International Crisis Group (ICG) mencatat sejak pemberlakuan Pilkada langsung di Indonesia, sekitar 10% dari 200 Pilkada diwarnai aksi kekerasan.
Selain konflik di atas, lahirnya Gubernur, Wali Kota dan Bupati sebagai prodak dari Pilkada langsung kinerjanya belumlah menggembirakan. Bisa dilihat dari peningkatan kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat. Realitasnya, akumulasi dari kinerja pemda belum mampu mengentaskan ketiga masalah fundamental ini.
Penyebab kurang maksimalnya kinerja pemda boleh jadi tergantung pada kemampuan kepala daerah dalam menyusun visi, misi, tujuan dan program strategis yang didasarkan pada kajian mendalam.
Memiliki moral yang baik, menjadi contoh dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Dapat mengelola pembangunan daerah dengan benar, serta melibatkan masyarakat melalui saluran demokrasi yang tepat.
Persoalannya, ada kecenderungan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung kehilangan kosentrasi menjalankan program yang telah dirancang. Menurut Agus Riewanto, penyebab utamanya yaitu:
Pertama, sistem Pilkada langsung yang menyaratkan calon diusung melalui pintu parpol, berakibat pada kompensasi materi pada dukungan/rekomendasi dari parpol demi memperoleh tiket sebagai kandidat.
Konsekuensi ekonomi-politik tertentu dengan kepala daerah dan parpol pengusung tak terhindarkan. Karena itu, energi kepala daerah terbagi untuk memberi fasilitas khusus pada parpol pengusung.
Kedua, penyesuaian dengan kinerja birokrasi/PNS pemda. Biasanya kepala daerah yang terpilih tidak punya pengalaman cara kerja birokrasi pemda. Bukan tidak mungkin aparat birokrasi pemda lebih paham dari kepala daerah tentang urusan pemerintahan daerah.
Ketiga, kepala daerah terpilih hanya didukung suara minoritas di DPRD. Untuk itu, segala upaya dilakukan agar keharmonisasian dengan DPRD tetap terjalin. Kalau tidak, kepala daerah akan tersandra oleh DPRD. Akhirnya, kompensasi dan konsesi politik-ekonomi yang sangat menguntungkan parlemen daerah adalah opsi yang harus diambil.
Memang untuk meminimalisir kesenjangan di atas, jalur independen para calon kepala daerah adalah alternatifnya. Hanya saja, sering berjalannya waktu, calon independen ketika terpilih menjadi kepala daerah, perlahan-lahan masuk menjadi anggota parpol karena aspek keselarasan dengan parlemen daerah yang notabenenya kader parpol.
Potret di atas, merupaka realitas di depan mata. Realitas ini harus disikapi dengan bijak dan kehati-hatian. Kontestasi Pilkada langsung di lapangan polanya sama, hanya pemainnya saja yang berbeda. Kemasan isu, janji, kampanye dan berbagai macam rayuan publik siklusnya sama.
Kampanye, pidato terkesan monoton dan tidak berisi-artikulatif. Para kontestan bangga dengan hal ini, bahkan terlihat begitu semangatnya berteriak di atas panggung, diiringi sorai-meriah dan tepukan tangan dari khalayak ramai yang diajak/dipengaruhi oleh tim sukses. Bintangnya pada saat itu adalah para calon yang dikemas bagai superman oleh tim sukses.
Tafsir demokrasi semacam ini tidak tepat. Pengabaian terhadap kebutuhan dasar rakyat seperti kesehatan, ekonomi dan pendidikan merupakan pengingkaran terhadap nilai dan semangat demokrasi itu sendiri.
Jika demokrasi maupun prodak Pilkada langsung tidak berefek pada kebutuhan dasar masyarakat, patutlah masyarakat bertanya, pilkada untuk siapa. Selamat berdemokrasi. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar