KPMLhulondalo.com Tulisan singkat ini dipersembahkan sebagai refleksi kelahiran pancasila 1 Juni. Memuat pancasila dalam konteks pengetahuan, ideologi, dan falsafah. Selanjutnya, selamat membaca.
Berbicara pancasila, tidak mungkin melupakan nama Bung Karno sebagai salah satu tokoh penting dalam perumusannya. Sebagai sebuah pemikiran, pancasila tak muncul mendadak tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan secara historis pancasila sudah disiapkan matang jauh sebelum secara formal dinyatakan.
Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1964 mengemukakan, “akhirnya marilah kita selalu berpegang teguh pada tiga pokok pengertian pancasila, yaitu pancasila sebagai jiwa kesatuan Indonesia, sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia, dan konsepsi bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional (S. Sutrisno, 2006).
Ketiga pengertian tersebut, pancasila lebih dikualifikasikan sebagai falsafah dan ideologi yang menunjukkan jati diri atau citra revolusioner bangsa Indonesia. Komitmen jati diri itu lebih ditunjukkan oleh pengertian pertama, tendensi ideologis pada pengertian kedua, dan pandangan visioner pada pengertian ketiga.
Keseluruhan dalam ketiga tema aktual di atas, mengkristal dalam wawasan kebangsaan, ketahanan nasional yang memberi nuansa persatuan pada sisi internal dan eksternal.
Kapasitas internal dan eksternal pancasila akan senantiasa aktual untuk diperbincangkan. Relevansinya bukan saja berdasar data sejarah, melainkan juga oleh kenyataan kekinian bahwa proses kebangsaan selalu dihadapkan pada tantangan baru. Karena itulah dalam konteks ideologi, pancasila sering mengalami ujian konsep.
Sebagai contoh, sering kali pancasila mengalami ujian dalam konsepsinya sebagai ideologi. Dalam berhipotesa hal itu wajar. Akan menjadi kontradiktif jika tidak dibarengi dengan kajian mendalam.
Jauh sebelum reformasi, Sidney Hook, seorang ahli pikir Amerika menyatakan ketidak setujuannya terhadap pandangan yang menganggap bahwa dengan perkembangan iptek ideologi akan habis.
Pandangan Hook tersebut disampaikan dalam dialog bersama sejumlah para ahli Indonesia tahun 1975, sekalian menanggapi terbitnya buku “The End of Ideology” (1960) tulisan Daniel Bell (S. Sutrisno, 2006).
Dengan simpel, Hook menjelaskan bagaimana perbedaan antara sistem pers di AS yang liberal dan Uni Soviet dulu komunis, padahal teknologi percetakan dan distribusi kedua negara adidaya itu sama majunya.
Penyebab perbedaan itu, tidak lain karena faktor ideologi yang mendasari sistem pers di kedua negara tersebut. Di AS, pers bisa menjatuhkan seorang presiden, sementara di Uni Soviet pers bisa dibungkam oleh penguasa negara.
Oleh sebab itu, kini dengan mengatasnamakan reformasi orang, pakar, politisi dan banyak lagi yang berseru tidak perlunya pancasila sebagai ideologi. Hal ini perlu dikoreksi, karena pertama reformasi bukanlah anarki atau revolusi.
Reformasi merupakan perubahan dalam suatu sistem, sementara revolusi merupakan perubahan sistem. Kedua, seruan itu dikhawatirkan karena ketidakpahaman tentang modalitas pancasila bagi dan dalam sejarah negara dan bangsa. Bisa juga karena sikap apriori dan terbuai pengaruh asing.
Jika reformasi merupakan perubahan di dalam sebuah sistem, maka pancasila merupakan dasar yang kekal abadi paradigmatik melandasi, menjiwai, dan mengarahkan perjalanan Indonesia, negara, bangsa, dan manusianya.
Mengacu hal tersebut di atas, Kaelan (2013) menguraikan bahwa pancasila merupakan pandangan, ideologi, falsafah, dan dasar hidup berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Bahkan beberapa pemikir mengurai pancasila dalam perspektif filsafat (filsafat pancasila).
Soediman Kartohadiprodjo mengurai filsafat pancasila adalah “kekeluargaan” yang dapat dijabarkan dalam pernyataan aksiomatik “kesatuan dalam perbedaan dalam kesatuan”.
Kartohadiprodjo menggunakan kriteria jiwa bangsa sebagaimana dalam azas-azas hukum adat. Misalnya pengelolaan tanah selama berabad-abad dianut hak ulayat yakni hak bersama atas tanah.
N. Drijarkara berpendapat bahwa filsafat pancasila berbasis pada cinta kasih terhadap sesama. Dengan melakukan analisis eksistensi, Drijarkara menyatakan bahwa keberadaan manusia tidak lain dari “ada bersama” bukan dalam bipolaritas “aku” dan di lain pihak “mengaku”.
Keberadaan manusia secara eksistensial adalah bersama dalam “aku-engkau”. Analoginya seperti pada permainan bulu tangkis dimana akan mustahil bermain sendirian, melainkan harus bermain lebih dari satu orang secara bersama.
Notonagoro menguraikan secara filosofis pancasila berdasar atas sifat dasar manusia sebagai makhluk monodualis dan monopluralis. Hal ini berarti bahwa manusia sendiri sebagai basis analisis mewujudkan dirinya dalam wahana pluralisme.
Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani; manusia adalah makhluk individu dan sosial; manusia adalah makhluk bebas dan sekaligus bergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Notonagoro menggunakan teori causa untuk menelusuri asal-mula pancasila, yakni sebuah teori Aristoteles yang mencakup empat causa: causa materialis, causa formalis, causa finalis, dan causa efisien.
Causa materalis pancasila adalah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia. Causa formalis pancasila adalah ialah Soekarno, BPUPKI dan PPKI. Causa finalis pancasila ialah sebagai dasar filsafat negara. Causa efisensi adalah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945.
Semoga uraian di atas menjadi perangsang bagi anak-anak bangsa untuk menggali pancasila lebih dalam. Hal ini penting agar generasi ini tidak mengalami kekeringan pengetahuan terhadap pancasila.
Selamat memperingati hari lahir pancasila 1 Juni tahun 2024 ditengah persiapan menghadapi pilkada serentak. Jayalah bangsaku. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar