KPMLhulondalo.com Dalam cerita pewayangan serial Ramayana, ketika Maharaja Rahwana atau Dasamuka didatangi bala tentara Sri Rama untuk meminta Dewi Shinta dari tangannya, Rahwana yang sudah dibayangi oleh ketidak mampuan menghadapi prajurit manusia kera dari Ayodya memanggil adiknya si Kumbakarna untuk membantu melawan prajurit Sri Rama.
Kumbakarna dengan tegas menjawab tidak mau membantu kakaknya yang berhati jahat berwatak angkara murka dan jelas memang salah. Rahwana marah besar, karena Kumbakarna tidak menggubrisnya dan dengan tenang Kumbakarna meninggalkan istana kembali ke kediamannya.
Pada waktu Kumbakarna lagi enak-enak istirahat, dari kejauhan terdengar sayup-sayup lengkingan teriakan orang kesakitan dan senjata tajam saling beradu. Kumbakarna bangkit dan lari keluar ingin mengetahui apa yang terjadi. Dilihatlah olehnya prajurit Alengkadiraja dan Ayodya berperang.
Istana dan kerajaan yang dibanggakan luluh lantak. Rakyat kecil yang menjadi korban. Sang raksasa Kumbakarna marah besar. Ia tak rela kerajaan dan rakyatnya dirusak musuh. Ia menghadang prajurit Ayodya dan berkata dengan suara menggelegar “aku berperang melawan kamu, bukan aku membela kakaku Rahwana, akan tetapi membela rakyat dan kerajaan Alengkadiraja”.
Akhirnya Kumbakarna gugur demi bangsa dan negaranya, bukan membela kakaknya yang salah. Adik Rahwana yang satunya Wibisana, mengambil sikap yang berbeda dengan Kumbakarna. Ketidak senangan terhadap perilaku jahat kakaknya, dan Ia telah memperingatkan kakaknya untuk tidak menculik Dewi Shinta tidak digubris Rahwana. Akhirnya ia pergi dan bergabung dengan Sri Rama.
Kepada Sri Rama, Wibisana menceritakan perilaku jahat kakaknya yang menyebabkan rakyatnya banyak menderita. Bahkan Wibisana membeberkan rahasia kesaktian Rahwana. Sri Rama dengan senang hati menerima pembelotan Wibisana, karena membuat pekerjaan Sri Rama semakin mudah menghancurkan Rahwana.
Tentang paham kebangsaan, Hans Khon (1995) menguraikan bahwa paham kebangsaan atau nasionalisme ialah paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada bangsa dan negara.
Sikap dan tindakan Kumbakarna di atas, mengacu pada pendapat Khon jelas termasuk mempunyai kebangsaan yang kuat. Kesetiaan Kumbakarna terhadap bangsanya dijunjukkan sampai titik darah penghabisan. Ia siap mati bukan atas kesetiaan sempit, tapi demi kesetiaan yang besar yakni atas nama bangsa.
Sebaliknya, Tindakan Wibisana yang “membelot” bergabung dengan musuh kemudian menghancurkan bangsanya sendiri jelas menunjukkan kurangnya rasa kebangsaan, meskipun alasannya menegakkan kebenaran.
Bagi Indonesia, rasa nasionalisme secara menyeluruh sudah mulai muncul sejak tahun 1908. Gerakan membangkitkan cinta akan bangsa dan tanah air lebih terasa gemanya dengan dikumandangkan Sumpah Pemuda 1928.
Sikap dan tindakan berperang melawan penjajah dan mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara pada perang kemerdekaan (1945-1949) tak akan berhasil tanpa dilandasai oleh jiwa dan semangat kebangsaan.
Berdasarkan cerita Kumbakarna dan peristiwa sejarah nasional dapat dikatakan bahwa semangat nasionalisme atau kebangsaan baru terlihat wujudnya manakala ada musuh dari luar negaranya. Meskipun definisi musuh disesuaikan dengan ancaman kontekstual negara tersebut.
Jika seseorang darahnya mendidih dan emosinya meledak-ledak bila mengetahui martabat bangsanya diinjak-injak bangsa lain, maka kemarahan itu menunjukkan adanya rasa kebangsaan yang kuat, yang mungkin jarang dimiliki oleh orang lain.
Kadar kebangsaan seseorang dapat juga diketahui dari sikap dan tindakannya yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Apalagi bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan etnik yang memiliki keragaman budaya, keyakinan, dan kondisi ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Tak bisa dipungkiri, dalam diri kita ada kesetian terhadap etnik, keyakinan, daerah maupun golongan. Manakala kesetiaan primordialisme itu harus berhadapan dengan kesetiaan nasional, dan seseorang atau rakyat Indonesia masih berat pilihan pada primordialisme, maka kadar nasionalismenya dapat dikatakan sangat rendah.
Negara Indonesia tak melarang adanya kesetiaan terhadap primordial yang secara tersurat dan tersirat ada dalam kalimat “Bhineka Tunggal Ika” tapi hendaknya kesetiaan primordialisme itu untuk memperkokoh kesetiaan terhadap bangsa. Singkatnya, kesetiaan primordialisme demi memperkokoh rasa dan jiwa nasionalisme meski dalam prakteknya terasa berat.
Dalam konteks politik kontestasi pemilu, terkadang kita gampang memvonis orang lain tentang pilihan nuraninya salah. Sangat jarang diantara kita menerawang lebih jauh dan substantif tentang alasan pilihan politik orang lain. Artinya, dalam menyikapi pemilu apakah pilpres maupun pileg, unsur rasa kebangsaan yang harus dikedepankan.
Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu anggaplah mereka menjalankan tugasnya atas nama rasa kebangsaan, partai politik sebagai peserta pemilu juga demikian, para capres/cawapres, calon anggota legislatif pun demikian.
Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di Republik ini yang dibalut oleh adigum “Vox Populi Vox Dei” anggaplah mereka bergerak atas nurani dan naluri kebangsaan. Karena jika mencermati tipologi pemilih dalam setiap kontestasi demokrasi, terpetakan menjadi beberapa golongan seperti pemilih sosiologis, ideologis, dan rasional.
Dalam konteks tersebut, harapan akan hadirnya pemilih yang mengedepankan rasa kebangsaan terletak pada kelompok pemilih rasional. Menjadi pemilih rasional memang berat, butuh usaha besar, motivasi kuat, dan kemampuan membandingkan gagasan dari setiap kandidat.
Untuk melakukan perbandingan itu, harus mengumpulkan informasi valid sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber sebelumnya sampai akhirnya memutuskan pilihan. Kondisi inilah yang disebut berat dalam menghadirkan pemilih rasional di Republik ini. Tapi apapun itu, seseorang yang mendepankan rasa kebangsaan rintangan apapun yang terbentang pasti akan dihadapi.
Jika kita menelusuri hasil studi para ilmuan, maka diperoleh jumlah pemilih rasional di Indonesia berada pada kisaran 5% sampai 10%, umumnya mereka memiliki pendidikan cukup dan dari kelompok ekonomi menengah atas. Meski proporsinya kecil, amplifikasi aspirasi mereka di media sosial sangat besar.
Terhadap siapapun dan dalam aktivitas apapun yang dilakukan, menanamkan jiwa, rasa, kadar kebangsaan memang tidak mudah. Tapi jika dilakukan dengan niatan tulus demi generasi dan anak cucu dikemudian hari, maka tanggung jawab itu pasti bisa ditunaikan. Karena sesuangguhnya kita dihadirkan ke muka bumi ini memiliki tugas diantaranya sebagai pemakmur rasa kebangsaan dan kenegaraan.
Posting Komentar