Nasionalis Musiman

Oleh : Rasid Yunus

KPMLhulondalo.com Tema “Nasionalis Musiman” di hadapan pembaca ini, merupakan refleksi terhadap peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang ke-78 tahun 2023. Uraiannya seputar nasionaslisme 17 Agustus dan perilaku kontradiktif dengan pesan dan makna 17 Agustus. Selanjutnya, selamat membaca.

17 Agustus setiap tahunnya merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. 17 Agustus adalah bukti bahwa bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan entitas yang mampu menghadirkan negara bagi warganya. Perjuangan, pengorbanan, penderitaan, merupakan rangkaian cerita yang tak bisa lepas dari 17 Agustus.

Kesamaan nasib kesengsaraan, akibat dari hegemoni penjajah kolonialis-imprealis rupanya pemicu semangat bagi anak-anak bangsa saat itu berjuang, bertekad untuk memimpikan satu negara yang berdaulat.

Dalam perjalanannya, negara Indonesia terbentuk dominan didasari oleh dua hal, pertama atas dorongan keinginan luhur warga bangsa. Kedua, karena hadiah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Mengertinya, Tuhan memberikan negara Indonesia karena tekad bulat masyarakatnya untuk berjuang membentuk negara ini. Dalam bahasa akademik, dua hal di atas disebut terjadinya negara dalam pendekatan teori ke-Tuhanan dan teori revolusi.

Kita tidak bisa memastikan secara kuantifikasi berapa orang para pejuang saat itu yang gugur di medan pertempuran. Tetapi kita hanya bisa memastikan secara kualitatif, bahwa kemerdekaan ini diperoleh dari pengorbanan nyawa.

Karena itulah, ketika bangsa ini sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, ada semacam euforia bagi rakyat ini untuk memperingati hari kemerdekaan dengan alasan yang beragam.

Untuk tahun 2023, tema HUT RI yang ke-78 ialah “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”. Sekilas tema ini menyiratkan bahwa bangsa ini diharapkan untuk maju dalam ruang ke-Indonesia-an dan konteks dunia.

Terkait perayaan HUT RI tahun 2023, upacara dan seremonial lainnya sering menghiasi. Instansi pemerintah, swasta, organisasi masyarakat, partai politik, dan lain-lain merayakan momen ini. Keceriahan nampak pada setiap orang yang merayakan momentum ini.

Sebagai warga bangsa, seremonial tersebut wajar-wajar saja. Namanya saja perayaan guna memperingati momen bersejarah. Tapi pertanyaannya adalah apakah 17 Agustus dalam konteks kekinian hanya dimaknai seperti itu?

Pertanyaan ini harus dijawab secara sadar berdasarkan kondisi pasca memperingati 17 Agustus. Sebab sesuai amatan penulis, kalangan yang setiap tahun aktif merayakan 17 Agustus, tetapi perilaku mereka kontradiksi dengan semangat dan nilai 17 Agustus.

Deretan nama yang terlibat kasus korupsi maupun kasus buruk lainnya adalah mereka-mereka yang setiap tahun berada di garda terdepan memperingati 17 Agustus. Bahkan sangat terkenal begitu getolnya memperjuangkan nilai-nilai 17 Agustus.

Mereka menggaungkan 17 Agustus seolah hanya berlaku sehari saja. Setelah itu mereka bebas melakukan apa saja yang mereka mau, tanpa memperdulikan makna 17 Agustus dalam setiap aktivitas kehidupan.

Kepada pihak-pihak seperti ini sangat tepat disebut sebagai mabuk 17 Agustus. Pada momen tertentu mereka fasih bicara 17 Agustus, tetapi sifat dan perilaku tidak sesuai dengan semangat juang 17 Agustus.

Seolah 17 Agustus hanya bersifat perayaan saja, kemudian pola dan tingkah laku mengabaikan makna 17 Agustus. 17 Agustus hanya dijadikan sebagai ceremonial tahunan yang lengkap dengan pernak perniknya.

Begitulah sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan hari lahir kemerdekaan 17 Agustus. Ada semacam rutinitas-musiman untuk mengisinya. Kebanggaan terhadap rutinitas-musiman ini seakan sudah menjadi tradisi setiap tahunnya.

Potret seperti ini sesungguhnya tidaklah baik, jika tidak dibarengi dengan perilaku produktif sebagai anak bangsa. Minimal mampu berpartisipasi secara aktif-produktif sesuai kemampuan di setiap tantangan zamannya.

17 Agustus merupakan pengejewantahan nilai nasionalisme secara kontekstual. Nasionalisme merupakan cinta yang tinggi terhadap tanah air Indonesia dengan tidak memandang rendah bangsa lain.

Dalam konteks ini, sebagai pewaris generasi 17 Agustus apa yang bisa diperbuat demi kemajuan bangsa Indonesia, dengan memperhatikan hubungan baik secara etik dengan negara lain.

Jika kita memaknai Indonesia, khususnya dalam konteks tahun-tahun keramat, maka 17 Agustus 1945 merupakan salah satu tahun keramat di Indonesia. Dalam memandang tahun keramatnya Indonesia, minimal tiga pertanyaan yang harus dijawab tuntas.

Pertama, ada apa dibalik tanggal 17 Agustus 1945? Makna apa yang terkandung didalamnya? Dan bagaimana cara mengaktualisasikan makna tersebut dalam konteks kekinian? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun untuk mengaktualisasikan secara tuntas nilai-nilai nasionalisme di balik 17 Agustus.

Barangkali, setiap saat kita menyaksikan perilaku buruk warga negara, terutama mereka-mereka yang diamanahkan oleh rakyat untuk mengelola negara ini melalui eksekutif, legislatif, dan yudikatif kurang memahami makna tiga pertanyaan di atas. Atau jangan-jangan mereka paham, tapi tanggungjawab mereka sudah hilang.

Apapun alasannya, bahwa 17 Agustus tidak datang begitu saja. Dia hadir sebagai hadiah dari Tuhan dan keinginan generasi terdahulu. Karena itu jadikanlah dia sebagai jembatan untuk menuju kemajuan bangsa.

Tugas generasi ini melanjutkan estapet perjuangan para pejuang terdahulu. Perjuangan yang dimaksud ialah perjuangan yang sesuai dengan konteks zaman. Jadikanlah makna 17 Agustus sebagai spirit dalam membangun bangsa.

Kesadaran secara holistik terhadap makna dan konteks pesan 17 Agustus merupakan langkah untuk menghindari sebutan nasionalis musiman yang kurang berimplikasi baik terhadap generasi ini. Selamat HUT RI ke-78 tahun 2023. Jayalah Bangsaku.


Penulis: Rasid Yunus
Publish: Pebriyanto A. Hulinggi


0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama