Oleh:
Pebriyanto A. Hulinggi
KPMLhulondalo.com Setiap kita memiliki kisah dan jalan masing-masing yang mungkin berbeda dengan orang lain, maka dari itu perlunya berbangga diri dengan apa yang kita miliki dan apa yang sudah kita rasakan mengenai suka dan duka kehidupan. Kehidupan menjadi seorang petani tidaklah mudah, karena membutuhkan kesabaran dan konsistensi dalam mencapai hasil yang baik. Artikel ini tidak akan membahas mengenai cara bertani, akan tetapi artikel ini akan memberikan motivasi terkait kisah dari anak petani yang memiliki keinginan dan cita-cita besar melalui pendidikan. Selanjutnya selamat membaca....
Anak pertama dari Lima bersaudara yang lahir dari keluarga berkecukupan, ayah bekerja sebagai petani dan ibu bekerja sebagai URT segaligus mempunyai usaha kecil-kecilan menjahit. Tujuh belas tahun yang lalu saya teringat kalah itu duduk dibangku kelas dua SD, saya sudah merasakan bagaimana hidup ditengah hutan yang jauh dari pemukiman warga bersama dengan kedua orang tua dan adik saya yang kala itu masih kecil. Menjadi seorang petani memang tidaklah mudah, dikarenakan harus bekerja keras walaupun panas dan hujan tetap menjalankan aktivitas bertani.
Hal demikian yang dirasakan oleh Ayah saya yang mempunyai tanggungjawab besar menghidupi keluarga. Gorontalo memang di identik dengan tanaman jagung yang tempat tinggalnya dekat atau bahkan dipegunungan, sehingganya Ayah saya memilih bertani jagung. Menjadi petani jagung membutuhkan proses yang cukup lama bisa sampai 6 bulan barulah bisa panen. Namun pada kesempatan kali ini saya akan membahas kehidupan saya sejak duduk dibangku SD sampai lulus memperoleh gelar Sarjana.
Kembali pada pembahasan sebelumnya saya masih kelas dua SD sudah tinggal dengan orang tua dikebun menjaga tanaman jagung hingga sampai tiba panen dan itu dilakukan setiap tahun. Kalah itu yang ada dipikiran saya bahwa saya akan menggantikan posisi ayah saya sebagai petani kelak saya putus sekolah.
Sudah tertanam dipikiran saya bahwa saya akan putus sekolah setelah tamat SD. Karena melihat kondisi kedua orang tua yang tidak mungkin bisa membiayai saya untuk sekolah. Sehingganya saya sudah memberi kesimpulan bahwa saya tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan.
Ditengah kesibukan bertani, ayah saya setiap pagi selalu mengantar saya ke sekolah dengan menggunakan sepeda, tetapi untuk menempuh perjalanan sepanjang 4 kilo dan menyebrangi 2 sungai barulah bisa naik sepeda, karena akses jalan dari kebun kejalan pemukiman harus ditempuh dengan jalan kaki karena becek. Sudah sampai dipemukiman warga barulah bisa naik sepeda, adapun sepeda yang kami tumpangi itu dititipkan ayah saya dirumah warga.
Kami melanjutkan perjalanan ke sekolah (SDN Lomuli) sepanjang 3 kilo dengan menaiki sepeda, saya dibonceng oleh Ayah saya dengan kaki terikat agar saya tidak jatuh dari sepeda. Sambil menikmati perjalanan melewati hutan dan kebun-kebun warga. Pemikiran anak kecil (saya) kala itu yah sampai disekolah belajar dan bermain setelah itu pukul 12.00 pulang sekolah. Pulang dari sekolah saya jalan kaki kekebun, biasanya pulang dengan teman-teman yang kebetulan mereka tinggalnya dipemukiman.
Berikut setelah dari jalan besar berpisah dengan teman-teman saya melanjutkan perjalanan menuju ke kebun dengan posisi harus mengeluarkan sepatu saya agar tidak kena becek. Sambil diperjalanan melewati hutan saya berfikir kapan yah sampainya, capek dari sekolah ditambah lagi dengan perjalanan yang cukup jauh. Tiba dikebun tugas saya menjaga adik saya yang paling kecil atau bermain dengan anak-anak anjing.
Sampai tiba malam setelah maghrib kami makan bersama ditemani cahaya (lampu botol) dan suara berbicara hanya suara kami saja yang berada didalam rumah (pondok) karena sunyi yang begitu sangat luar biasa, setelah makan barulah kami tidur paling lambat pukul 19.30.
Biasanya ditengah malam gulita ayah saya pergi mengecek dipinggiran kebun apakah ada hewan (yakis/kera dan babi) yang masuk kebun merusak tanaman jagung, hal demikian setiap malam dilakukan ayah saya.
Hal paling menarik selama saya menempuh pendidikan SD yakni bisa merasakan bagaimana kehidupan ditengah hutan, tibah setelah maghrib gelap gulita yang sangat luar biasa dan hanya suara burung, jagkrik yang kedengaran, begitu tiba waktu pagi ibu saya sudah bersiap-siap masak untuk sarapan pagi dan Ayah saya bersiap-siap mengantar saya kesekolah, bahkan pernah juga saya pagi jalan kaki dari kebun kesekolah karena kala itu kelas dua baru bisa masuk pukul 10.00 menggantikan kelas 1 SD.
Kehidupan disekolah SD yang menurut saya penuh dengan kecukupan, jajan Rp.1000 setiap hari dan sudah paling senang bisa bawa Rp.2000, tetapi hal itu hanya bisa dinikmati dan dijadikan pengalaman saja sehingganya kehidupan keras memang membutuhkan proses yang keras pula. Belum sampai disekolah saya salah satunya siswa paling bodoh dibandingkan dengan teman-teman lain yang memiliki prestasi sangat luar biasa.
Pelajaran matematika yang paling saya takuti, karena guru pengampuh mata pelajaran sangat galak, apalagi kami mau lewat rumahnya sudah paling takut ketika kami dilihat oleh ibu guru tersebut, bahkan kami harus berlarian melewati depan rumahnya. Adapun disekolah SD Sudah paling beruntung saya dapat nilai 5 biasanya dapat 0 dan itu kertasnya saya rubah nilainya jadi 10 atau kami rubah 0 jadi berbagai macam gambar. Dan itulah keunikan jaman SD yang belum banyak beban pikiran.
Posting Komentar