Piala Dunia dan Nasionalisme Kita

Oleh : Rasid Yunus

KPMLhulondalo.com Beberapa hari yang lalu, saya bersama istri dan anak berada di salah satu rumah makan di Gorontalo. Selang beberapa saat, datanglah seorang teman. Mengetahui saya duduk di belakangnya, dia datang menghampiri, duduk sebentar dan sedikit bincang tentang berbagai hal.

Dalam diskusi itu, menurut saya yang menarik adalah pertanyaan teman ini mengenai hubungan nasionalisme dengan sepak bola piala dunia. Sasarannya tentu pada beberapa rumah memasang bendera peserta piala dunia. Karena itulah, artikel singkat ini ditulis. Selanjutnya selamat membaca.

Sejak tanggal 20 November 2022 hingga 18 Desember 2022 dunia olahraga dimanjakan oleh tontonan piala dunia. Pembukaan pertandingan dilaksanakan di Stadion Al Bayt, Al Khor yang mempertemukan tuan rumah Qatar vs Ekuador. Sementara partai final akan dilaksanakan di Stadion Lusail pada 18 Desember 2022.

Ada 32 negara yang mewakili benua  bertanding pada perhelatan 4 tahunan ini. Masing-masing 6 negara yang mewakili zona Asia (Australia, Iran, Jepang, Arab Saudi, dan Korea Selatan), 5 negara yang mewakili zona Afrika (Kamerun, Ghana, Maroko, Senegal, dan Tunisia), 

4 negara mewakili zona Amerika Utara, Tengah, dan Karibia (Kanada, Kostarika, Meksiko, dan Amerika Serikat), 4 negara mewakili zona Amerika Selatan (Argentina, Brazil, Ekuador, dan Uruguay), dan 13 negara mewakili zona Eropa (Belgia, Kroasia, Denmark, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Polandia, Portugal, Serbia, Spanyol, Swiss, dan Wales). Sementara timnas Qatar sebagai tuan rumah lolos otomatis tanpa melalui kualifikasi.

Lagu resmi yang mengiringi piala Dunia 2022 di Qatar yaitu lagu Hayya hayya (Better Together) yang dinyanyikan oleh Trinidad Cardona, Davido, dan Aisha. Lagu Arbho yang dinyanyikan oleh Ozuna dan Gims. Lagu Light the Sky dinyanyikan oleh Nora Fatehi, Balqees, Rahma Riad, dan Manal. Lagu The World is Yours to Take dinyanyikan oleh Lil Baby.

Qatar sebagai tuan rumah dikabarkan menghabiskan uang hingga RP 3.400 trilliun untuk mempersiapkan sesuatunya selama 12 tahun, terhitung sejak ditetapkan sebagai tuan rumah pada tahun 2010. FIFA mengalokasikan bonus kepada setiap peserta piala dunia 2022 dengan total anggaran RP 6,91 trilliun (jumlah bonus sesuai pencapaian setiap pertandingan).

Keuntungan yang diperoleh dari kompetisi olahraga termahal dan termegah di dunia ini, dari pihak FIFA mendapatkan keuntungan lebih dari RP 72 trilliun yang diperoleh dari penjualan tiket dan hak siar.

Sementara perkiraan keuntungan yang diperoleh Qatar mencapai RP 59 trilliun yang diperoleh dari para wisatawan yang mengeluarkan uangnya untuk membeli tiket dan merchandise, penginapan, makan dan minum, serta parawisata.

Sepak bola piala dunia bukan hanya berbicara tentang berputarnya ekonomi yang menghasilkan uang trilliunan rupiah, tapi lebih dari itu. Piala dunia merupakan impian tertinggi setiap pemain sepak bola di dunia. Apalagi membawa negara menjadi juara, tentu satu kebanggan yang sungguh luar biasa.

Euforia piala dunia melanda seluruh manusia di dunia, tak mengenal batas teritori negara. Bendera, atribut, dan berbagai asesoris negara peserta piala dunia menjadi target  masyarakat penikmat sepak bola. Apalagi para pendukung yang mengidolakan pemain tertentu, atribut negara sang idola ini menjadi target mereka.

Sejenak isu-isu penting di dunia tenggelam, karena mayoritas masyarakat dunia terkosentrasi pada Qatar menyaksikan setiap suguhan pertandingan, dan berharap negara yang didukung beroleh hasil maksimal (juara dunia tahun 2022).

Hasil KTT G20 di Bali yang diselenggarakan pada tanggal 15-16 November 2022 tidak banyak dibicarakan orang. Perang saudara di Suriah yang sudah bertahun-tahun, perang Rusia dan Ukraina, konflik Korea Utara dan Korea Selatan, hasil pemilu di Malaysia, dan isu-isu penting lainnya kurang menjadi bahan diskusi masyarakat.

Di Indonesia kondisi politik menjelang Pilpres 2024 sepi dari pantauan masyarakat, tragedi Kanjuruhan Malang yang menewaskan ratusan suporter Arema, dan terakhir  gempa di Cianjur yang menelan ratusan korban nyawa juga sepi dari  diskusi masyarakat.

Piala dunia bukan hanya bicara hobi, bakat, kompetisi, perputaran ekonomi, tetapi lebih dari itu. Sepak bola piala dunia merupakan pertaruhan rasa nasionalisme bagi pemain yang negaranya berhasil lolos pada kompetisi bergengsi ini.

Karena itu, tidaklah mengherankan ketika lagu kebangsaan dinyanyikan pada saat memulai pertandingan, tidak sedikit pemain meneteskan air mata, merasa terharu bahwa lagu kebangsaan mereka bisa dinyanyikan pada olahraga terakbar di dunia.

Bagi penikmat sepak bola yang negaranya tidak tampil dalam sepak bola piala dunia, mereka sangat antusias menikmati setiap pertandingan dengan cara memasang bendara di depan rumah sesuai dengan bendera negara dan pemain yang diidolakan. Berbagai atribut digunakan sebagai penegasan bahwa mereka mengidolakan negara dan pemain tertentu.

Terkait dengan penggunaan bendera dan atribut peserta negara piala dunia mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Mereka berani menyimpulkan bahwa masyarakat yang memasang bendera negara lain di depan rumah dianggap tidak nasionalis.

Dalam sebuah pertemuan diskusi ilmiah, penulis menyaksikan dan mendengar ada salah seorang pembicara berani mengambil kesimpulan bahwa warga negara mengalami kemorosotan karakter nasionalis karena memasang bendera negara lain di depan rumah. Ini menjadi menarik karena term nasionalis seolah dihubungkan dengan bendera.

Secara epistemologi, banyak ahli yang mendefinisikan kata nasionalis. Hans Khun tahun 1955 mendefinisikan istilah nasionalis atau nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara-kebangsaan. Definisi ini terdapat dalam buku “Nasionalisme Arti dan Sejarahnya”.

Hans Khun menonjolkan kajiannya pada istilah nasionalisme sebagai sesuatu kekuatan aktif dalam sejarah manusia yang memiliki misi mengutamakan hak perseorangan yang ikut serta membentuk sifat kemanusiaan yang baik.

Sementara Freddy Kalidjernih tahun 2010 dalam bukunya “Studi Kewarganegaraan: Perspektif Sosiologikal dan Politikal” menguraikan bahwa istilah nasionalisme merupakan ideologi yang menekankan bangsa sebagai prinsip sentral dari organisasi politik dengan berbagai cita-cita dan tujuan.

Selain itu, Freddy Kalidjernih membagi nasionalisme menjadi beberapa segmen yaitu nasionalisme integral yang berarti antusiasme nasionalis yang intens, bahkan histerikal, yang menyerap identitas individu ke dalam bangsa.

Nasionalisme kultural yang berarti bentuk nasionalisme yang memberikan penekanan utama kepada regenerasi bangsa sebagai suatu peradaban yang khas. Nasionalisme etnik yang mengkaji ethnic nationalism; ethno-nationalism.

Jika mengacu pada beberapa definisi konseptual tentang nasionalisme, maka ditemukan bahwa nasionalisme sifanya tidak kaku. Secara kultural-etnik-peradaban itu wajib, tapi secara fungsional nasionalisme mengacu pada kebermanfaatan kondisi kontekstual dan kebutuhan bangsa. Olehnya, segala sesuatu harus dilihat dalam sudat pandang yang dalam.

Hal yang sama berlaku pada orang yang mengidolakan pemain sepak bola dunia. Implikasi positifnya ialah pada konotasi mempelajari teknik, taktik, dan mental pemain yang diidolakan, kemudian menjadi bahan komparasi demi peningkatan prestasi olahraga sepak bola dalam negeri.

Kondisi seperti ini dilakukan oleh negara lain terhadap Indonesia. Semisal mantan pemain bulu tangkis Indonesia yang melatih di luar negeri. Dalam konteks itu, apakah mereka negara yang menjadikan pelatih Indonesia melatih pemain mereka  lalu diklaim mereka tidak nasionalis.

Juga pelatih sepak bola negara lain yang melatih klub maupun timnas Indonesia lalu kita berani menyimpulkan bahwa kita kehilangan  rasa nasionalisme. Sesungguhnya hal demikian biasa dalam dunia olahraga demi kepentingan prestasi olahraga dalam negeri dan sebagai wujud nasionalisme di bidang olahraga.

Justru perlu mendapat perhatian serius adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia” diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2001.

Menurut Mochtar Lubis masyarakat Indonesia memiliki beberapa ciri diantaranya manusia hipokrit alias munafik. Lain di bibir lain di hati. Lain bicara lain pula tindakan. Hal ini bisa dibuktikan dengan deretan kasus yang terjadi di Indonesia terutama kasus penyelenggara negara (KKN).

Padahal jika diperhatikan, mereka-mereka yang terjerat kasus hukum rajin memasang bendera merah putih di depan rumah maupun kantor mereka. Setiap hari besar nasional rajin upacara, membaca teks pancsila dan UUD tahun 1945.

Nasionalisme merupakan konsistensi antara pikiran, perkataan, dan perbuatan demi kemajuan bangsa. Nasionalisme tidak terjebak pada formalitas sementara miskin substansi. Kita boleh bangga dengan perayaan yang dilaksanakan setiap hari besar nasional, tetapi belum tentu hal itu membuat bangsa ini jaya.

Mari bertanya pada diri, setelah perayaan tersebut apakah nilai-nilai juang The Founding Fathers kita merasap, membekas dalam diri, kemudian menjadi roh disetiap pengabdian kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya itulah akar nasionalisme kita.


Penulis: Rasid Yunus
Publish: Team KPMLHulondalo

 

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama