Polarisasi


Oleh: 
Rasid Yunus

KPMLhulondalo.com Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati Hari Pahlawan 10 November 2022. Mengurai polarisasi yang tumbuh dari masa ke masa baik secara lokal, nasional, dan internasional yang implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, serta upaya positif dalam menyikapi polarisasi di masa yang akan datang.

Artikel ini pernah dipublish pada blog ini tanggal 16 Agustus 2021 dengan tema polarisasi. Pada sajian kali ini, temanya tetap sama, tapi isinya mengalami penambahan kasus polarisasi di beberapa negara. Selanjutnya selamat membaca.

Kerr menjelaskan bahwa polarisasi  ialah kecenderungan ke arah posisi yang ekstrim. Polarisasi ialah proses, perbuatan, kecenderungan pembagian atas dua bagian yang berlawanan dan ekstrim.

Pergeseran yang penuh resiko merupakan suatu gejala pergeseran pilihan yang mengundang polarisasi kelompok. Polarisasi kelompok yakni kecenderungan atau gejala kelompok yang menyebabkan orang mengubah keputusan mereka, baik ke arah yang lebih teliti atau lebih mengandung resiko. Polarisasi biasanya terjadi karena faktor empati yang keliru.

Dalam perkembangannya, bangsa kita sering mengalami polarisasi. Pada masa pra-kolonial, ketika negeri ini masih berbentuk kerajaan, polarisasi sering mewarnai aktivitas raja dan rakyatnya. Perebuatan kekuasan secara internal kerajaan, resistensi, ekspansi dan penaklukan kerajaan lain sering terjadi.

Pada masa kolonialis-imprealis, penduduk sering diperhadap-hadapkan oleh penjajah. Tujuannya agar masyarakat terbelah, kosentrasi pecah, membenci satu sama lain, sehingga misi mengeruk sumber daya alam berjalan mulus.

Masa Kebangkitan Nasional dengan lahirnya organisasi politik-non politik, yang bertujuan mengusir penjajah melalui siasat pengetahuan. Tetapi, di tubuh organisasi ini terjadi polarisasi yang tidak sehat. Sebut saja perpecahan di tubuh organisasi Serekat Islam (SI) yang melahirkan SI Merah dan SI Putih.

Saat penjajahan Jepang, munculnya berbagai macam lembaga taktis untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, seperti Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada masa BPUPKI dan PPKI terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang rumusan ideologi negara yang implikasinya terasa sampai saat ini. Satu hal yang bisa kita pelajari dari tokoh sebelumnya, konsensus mereka melahirkan Indonesia menjadi negara berdaulat secara de facto dan de jure pada tanggal 17 Agustus 1945.

Zaman Orde Lama setelah pemilu tahun 1955 yang disebut pemilu teraman, terdemokratis yang melahirkan PNI sebagai pemenang pertama disusul oleh Masyumi, kemudian NU, PKI dan PSII.

Memang pemilu tahun 1955 adalah yang teraman. Akan tetapi, pasca pemilu pemerintahan Soekarno diperhadapkan pada polarisasi yang tidak sehat. Tuduhan dari beberapa kalangan terhadap Soekarno yang dianggap melindungi komunis serta akutnya permasalahan yang melanda Indonesia. Akibatnya, rezim Orde Lama berakhir dan digantikan oleh rezim Orde Baru (Orba).

Walaupun di zaman Orba stabilitas politik terjamin dengan cara meleburkan kepentingan politik ke-tiga partai (Golkar, PDI dan PPP) dan kondisi keamanan negara terkesan baik. Tapi rezim Orba tidak mampu membendung krisis ekonomi yang menyebabkan rupiah anjlok mencapai angka 1 US dolar @ RP 16.000-17.000.

Ditambah lagi Orba tidak mampu membendung Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim. Kekecewaan rakyat ditunjukkan lewat gerakan jalanan (demonstrasi) yang berkepanjangan dan gawat. Akhirnya,  Soeharto mundur dari kursi presiden dan berakhirlah rezim Orba.

Zaman reformasi nampaknya polarisasi masih saja terjadi. Perbedaan pendapat dikalangan para tokoh reformis tentang pengganti Soeharto, ada yang menghendaki Habibie, namun tidak sedikit pula yang menghendaki Megawati sebagai presiden pengganti Soeharto saat itu.

Selain itu di zaman reformasi, terjadi konflik horizontal yang gawat di republik ini. Diantaranya tahun 1998 konflik Poso, konfik Maluku tahun 1999, konflik sampit tahun 2001 dan konflik-konflik lainnya yang menyebabkan banyaknya korban (nyawa dan harta benda).

Dalam konteks internasional, polarisasi di Irak yang menyebabkan rezim Saddam Hussein tumbang, di Libya runtuhnya rezim Muammar Khadafi, di Suriah menuntut rezim Bashar Al-Assad mundur, di Myanmar menyebabkan Aung San Suu Kyi ditangkap oleh militer dan banyak lagi kisah di belahan dunia.

Jika dicermari konflik yang terjadi pada beberapa negara di atas, bukan semata-mata karena pengaruh dan perubahan peta geopolitik, geostrategi, serta perebutan ladang ekonomi bagi negara-negara adikuasa. Melainkan ketidakmampuan negara yang bersangkutan mengelola sekte dan kemajemukan budayanya.

Akhirnya yang terjadi adalah resistensi yang berujung pada konflik berkepanjangan, sehingga atas nama perdamaian dunia negara-negara lain turut terlibat dalam konflik tersebut. Dalam kondisi ini yang menerima imbasnya adalah negara dan rakyat.

Terlepas dari semua polarisasi dan peristiwa sebelumnya, jika tidak memaknai secara utuh kerangka kerja polarisasi, maka implikasinya tidak baik bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Dalam perspektif sunatullah, polarisasi adalah suatu keniscayaan. Sebuah kewajaran bila polarisasi dikaitkan dengan kondisi kemajemukan (sosial-kultural-religi) sebuah bangsa. Merawat kemajemukan vertikal maupun horizontal merupakan bentuk pengelolaan polarisasi yang diinginkan.

Ketika kita berbicara pelestarian kebudayaan sebagai identitas dan aset positif bagi bangsa, sesungguhnya kita telah merawat polarisasi yang positif. Akan tetapi, bila polarisasi dikaitkan dengan kepentingan politik, maka disitu butuh kehati-hatian.

Sebab, arena politik merupakan arena kekuasaan. Pada level ini, orang diuji sejauh mana konsistensi dia merawat makna polarisasi yang baik. Dalam hal kekuasaan, biasanya orang terjebak pada makna polarisasi yang sempit.

Saat ini orang sering memainkan polarisasi beririsan dengan politik kekuasaan yang tidak sehat. Penggunaan politik identitas, politik dendam kusumat, dan politik aliran yang berujung pada retaknya hubungan sesame warga  bangsa sering dijumpai.

Kedepannya kita berharap polarisasi yang tidak sehat ini segera disudahi. Apalagi dunia saat ini sedang dilanda berbagai pandemi yang telah menelan banyak korban jiwa dan tidak tau kapan berakhirnya. Olehnya, kondisi ini mengharuskan kita bekerja sama untuk keluar dari krisis kemanusiaan ini.

Marilah bergandeng tangan membangun negeri ini. Mari lanjutkan perjuangan dan nilai juang generasi sebelumnya. Mereka telah meneteskan darah demi republik ini. Tugas kita adalah memastikan mereka tenang di alam sana melalui kerja produktif. Selamat hari Pahlawan 10 November 2022. Jayalah bangsaku. Semoga bermanfaat.


Penulis: Rasid Yunus
Publisher: Pebriyanto A. Hulinggi


0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama