KPMLhulondalo.com Tulisan singkat ini dipersembahkan sebagai refleksi kelahiran Pancasila 1 Juni. Memuat sejarah singkat, tokoh sentral dibalik pemikiran filsafat Pancasila, serta kekeliruan berbagai pihak memahami secara utuh ideologi Pancasila. Selanjutnya selamat membaca.
Ada semacam euforia tersendiri dalam menyikapi 1 Juni setiap tahunnya. Maklum, di zaman sebelumnya Pancasila hanya bisa ditafsirkan oleh penguasa.
Presiden Soeharto misalnya, saat itu lebih memilih merayakan hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, sebagai tanda gagalnya Gerakan 30 September 1965. Ketimbang merayakan 1 Juni sebagai hari lahir pancasila.
Dalam tafsiran rezim Orde Baru, 1 Juni 1945 bukanlah hari lahir Pancasila, melainkan hari lahirnya istilah Pancasila. Karena itu, 1 Juni boleh dirayakan dan bisa juga tidak.
Adalah Keppres Nomor 24 Tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila, merupakan dasar bagi masyarakat Indonesia merayakan hari lahir Pancasila setiap tahunnya (1 Juni).
Keppres ini semacam memberi semangat, bahwa Pancasila merupakan sesuatu yang berharga bagi Indonesia. Ada sentuhan sensitifitas-original kebudayaan di dalamnya.
Olehnya, setiap tahun perayaan 1 Juni terkesan meriah. Apakah kemeriahan tersebut terbawa pula menjadi pola tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, itu yang menjadi soal.
Karena rutinitas apapun yang dilakukan, idealnya dapat menyentuh substansi dan filosofis Pancasila. Sebab itulah pesan sesungguhnya Pancasila, yang berorientasi pada keberlangusngan hidup bangsa.
Secara filosofis, banyak para tokoh yang menggali Pancasila dalam perspektif filsafat. Mereka mengurai Pancasila dalam pendekatan filsafat. Para pemikir tersebut diantaranya:
Soediman Kartohadiprojo. Menurutnya Pancasila adalah intisari dari “kekeluargaan” yang terjabarkan melalui ungkapan aksiomatik “keastuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”.
Untuk memverifikasi hal tersebut, Kartohadiprojo menggunakan kriteria jiwa bangsa sebagaimana termaktub dala azas-azas hukum adat. Ternyata adat tersebut tidak lain adalah “kekeluargaan” itu sendiri (S. Sutrisno, 2006:85).
Drijarkara. Dengan melakukan analisis eksistensi, Drijarkara menyatakan bahwa keberadaan manusia tidak lain dari “ada bersama” buka dalam bipolaritas “aku” dan di lain pihak “mengaku”. Keberadaan manusia secara eksistensi ialah bersama dalam “aku engkau”.
Fakta itu menunjukkan bahwa keberadaan manusia saling membutuhkan. Posisi partner, tidak menomorsatukan persaingan melainkan kemitraan dan kerja sama. Kesemuanya itu dilandasi kasih yang melimpahkan kasihnya kepada seluruh eksistensi (Tuhan).
Notonagoro. Menurut Notonagoro, manusia adalah basis analisis dalam wahana pluralisme yang terikat oleh kebutuhan jasmani-rohani, individu-sosial, bebas-bergantung pada Tuhan.
Notonagoro menggunakan teori causa menelusuri asal-mula Pancasila, yakni teori dari Aristoteles yang mencakup empat causa yaitu yaitu causa materialis, causa formalis, causa finalis, serta causa efisien.
Causa materialis Pancasila adalah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia. Causa formalis Pancasila ialah Sukarno, BPUPKI dan PPKI. Causa finalis Pancasila ialah sebagai dasar filsafat kenegaraan, sedangkan causa efesiensi ialah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945.
Dengan memahami berbagai sumber filosofis Pancasila itu, muncullah implikasi terhadap perumusan konsepsi dalam kehidupan kenegaraan dan ketatanegaraan, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Dalam disertasi-Nya A.M.W. Pranarka (1985) terdapat tiga pokok Pancasila yakni: (a) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang berisi sistem nilai ke-Indonesiaan yang berkembang secara akumulatif selama ribuan tahun.
Penjelasan Sukarno sang penggali Pancasila, mengandung makna bahwa nilai-nilai Pancasila dijumpai dalam berbagai lapis budaya sejak sebelum kedatangan Hindu-Budha di Indonesia.
(b) Pancasila sebagai dasar negara atau asas kerohanian negara, kapasitasnya ini menjadi acuan disusunnya undang-undang dasar negara dan dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
(c) Sebagai ideologi, Pancasila menekankan keniscayaan pada warga negara untuk menghayati nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sisi lain di era reformasi saat ini, nampak bahwa wacana Pancasila melemah sedemikian rupa. Wacana seperti ini biasa terjadi pada era pemerintahan sebelumnya. Namun, terasa kencang sepertinya di era reformasi.
Hal ini ditandai hadirnya berbagai macam organisasi kemasyarakatan dengan slogan sentrumnya adalah menolak terang-terangan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi Indonesia.
Ada anggapan bahwa Pancasila sebaiknya hanya berfungsi sebagai dasar negara, tidak perlu menjadi ideologi. Oleh karena itu, pemahaman penting digalakkan demi kesadaran publik karena kapasitas ideologi merupakan segmen penting dalam Pancasila.
Sidney Hook seorang ahli pikir terkemuka dari Amerika menyatakan ketidak setujuannya terhadap pandangan yang menganggap bahwa dengan perkembangan iptek ideologi akan habis.
Pandangan Hook itu disampaikan dalam dialognya bersama sejumlah ahli di Indonesia tahun 1975, sekalian menanggapi terbitnya buku “The End of Ideology” tulisan dari Daniel Bell bekas murid Hook (S. Sutrisno, 2006:129).
Hook mengaitkan penjelasannya dengan kondisi pers di AS dan Uni Soviet. Hook menguraikan bagaimana perbedaan antara sistem pers di AS yang liberal dan Uni Soviet yang komunis, padahal teknologi cetak dan distribusi di kedua negara itu maju.
Perbedaan keduanya terletak pada ideologi. Di AS, pers bisa menjatuhkan seorang presiden, sementara di Uni Soviet pers bisa dibungkam oleh penguasa negara yang kekuasaannya jauh di bawah presiden.
Kini dengan mengatasnamakan reformasi orang, pakar, politisi dan entah siapa lagi berseru tentang tidak perlunya Pancasila sebagai ideologi. Pernyataan itu perlu diluruskan karena:
Reformasi bukanlah anarki atau revolusi. Reformasi merupakan tantangan diantara sistem pemerintahan yang ada, sementara revolusi adalah tantangan terhadap sistem tegas Roeslan Abdulgani (S. Sutrisno, 2006: 129).
Seruan itu dikhawatirkan karena ketidakpahaman sebagian masyarakat tersebut tentang modalitas dan eksistensi Pancasila bagi serta dalam (sejarah) negara-bangsa Indonesia.
Ketidakpahaman ideologi Pancasila meligitimasi sikap apriori, lalu melancarkan term “kegagalan” ideologi Pancasila. Apalagi bangsa-bangsa di dunia terbuai oleh pengaruh asing, baik dalam ranah pemikiran maupun kuatnya pengaruh ideologi transnasioal.
Jika reformasi merupakan perubahan di dalam sebuah sistem, maka Pancasila kontekstual melandasi, menjiwai dan mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia (bangsa, negara, dan manusianya).
Dalam konsepsi yang paling sederhana, bangsa Indonesia merupakan negara gotong-royong, dari-oleh-untuk rakyat, hulunya adalah kemajemukan dan hilirnya adalah ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Posting Komentar