Oleh : Rasid Yunus
KPMLhulondalo.com Artikel ini lahir sebagai sumbangsih pemikiran untuk desa (penulis juga orang desa). Apalagi tahun ini beberapa desa di Provinsi Gorontalo akan melakukan pemilihan kepala desa termasuk di Kabupaten Pohuwato, lebih khusus di Kecamatan Lemito (Desa Suka Damai, Wonggarasi Tengah, Kenari, dan Babalonge). Selanjutnya selamat membaca.
Desa adalah sebuah kampung kecil dari negara yang masyarakatnya kadang-kadang hidup nyaman, tentaram dan damai. Desa pula merupakan bagian teritori kecil dari negara.
Dalam UU No. 6 tahun 2014, desa dan desa adat serta sebutan lainnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan republik Indonesia.
Sementara itu Paul H. Landis menyebut bahwa desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan ciri-ciri seperti; mempunyai pergaulan saling kenal mengenal, adanya pertalian perasaan yang sama, berusaha (ekonomi) agraris yang dipengaruhi alam, pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Ulasan tersebut memberi petunjuk bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat tertentu yang hidup di wilayah legal dengan jumlah yang terbatas, diikat oleh kesamaan perasaan dan melangsungkan hidup bergantung pada kondisi alam sekitarnya. Inilah penyebab desa penyuplay kekerabatan yang kuat bagi suatu negara.
Terkait pembangunan desa, mengacu pada pengalaman yang sudah-sudah bahwa pembangunan desa belum mampu meminimalisir kesenjangan sosial-ekonomi antara perkotaan dan pedesaan.
Sebab itulah sejak tahun 2014 pemerintahan Jokowi membuat terobosan kebijakan tentang dana desa yang setiap tahunnya jumlahnya terus meningkat. Sejak adanya kebijakan dana desa, desa mulai dilirik oleh banyak orang bukan hanya dalam pembangunan desa tetapi masuk juga ruang politik desa.
Faktanya pada saat pemilihan kepala desa dan anggota BPD jarang kita menemukan dua calon, yang ada adalah lebih dari dua calon. Selain itu, hadirnya calon-calon kepala desa dan anggota BPD yang berusia milenial (lahir antara tahun 1982 sampai 2000).
Fenomena pemimpin muda di desa menarik untuk dikaji. Terutama dikaji dalam dua pendekatan yakni pendekatan pola hidup dan pendekatan gaya hidup.
Pola hidup maksudnya kaum milenial melibatkan diri dalam urusan-urusan politik desa bukan karena adanya dana desa, tetapi didasari oleh kesadaran, ketulusan, keikhlasan untuk mengabdikan diri demi membangun desa.
Memahami betul tugas dan fungsinya sebagai kepala desa baik dalam konteks politik, kekuasaan, pembangunan dan kebudayaan desa (adat) atau kompetensi serta kecakapannya memadai untuk memimpin desa.
Sedangkan gaya hidup, dimana kaum milenial melibatkan diri dalam urusan-urusan politik desa tergiur dengan jumlah dana desa, kurang memahami tugas dan fungsi kepala desa.
Akibatnya terjebak pada orientasi mengejar prestise, prestasi minim, mengejar materi, terobsesi program studi banding desa yang outputnya hanyalah berwisata (jalan-jalan) dan segala gaya hidup materi lainnya sementara rakyat di desanya dibiarkan begitu-begitu saja.
Keberadaan dana desa saat ini mengakibatkan 2 implikasi sekaligus. Jika desa berhasil mengelola dana desanya dengan baik melalui BUMDes dan beberapa program lain maka pasti hasilnya akan dirasakan baik oleh masyarakat.
Kita tentu mengetahui dan menyaksikan beberapa desa sampai GO Internasional karena keberhasilan mengelola dana desa melalui BUMDes dan usahaya kreatif lainnya.
Sebaliknya jika desa dianggap tidak berhasil mengelola desa terutama pemanfaatan dana desa maka desa tersebut akan menambah beban keuangan negara bahkan menyisahkan masalah.
Beberapa laporan ICW tentang kasus korupsi dana desa yang disinyalir merugikan negara miliyaran rupiah. Kemudian banyak kepala desa yang ditangkap oleh penegak hukum karena menyalahgunakan dana desa.
Tugas kepala desa bukan hanya menyiapkan fasilitas fisik desa, tetapi mempelajari, merawat, membangkitkan semangat kolektifitas masyarakat desa untuk membangun desa.
Mendorong masyarakat desa agar bermental optimis, berpegang teguh pada warisan budaya, menghadirkan pola kebudayaan baru yang produktif, membiasakan mindset masyarakat desa kearah yang inovatif tanpa harus mengandalkan kekuatan materi.
Desain pembangunan yang bersifat fisik (materi) maupun nonfisik (mental dan karakter) merupakan konsep pembangunan yang komprehensif. Jika konsep ini diabaikan maka hasil pembangunan dipastikan tidak sesuai harapan.
Takutnya seperti yang disampaikan oleh Sach dimana pembangunan seperti ini (hanya pembangunan fisik) akan melahirkan khayalan, kekecewaan, kegagalan dan kejahatan.
Olehnya, paradigma pembangunan harus mengikuti zamannya tanpa mengabaikan potensi kebudayaan dan nilai-nilai lokalnya. Selamat berdemokrasi ala desa. Semoga bermanfaat.
Penulis: Rasid Yunus
Publish: PH
Posting Komentar