Serius Dalam Kepura-Puraan

 
Oleh: Rasid Yunus

KPMLhulondalo.com Tulisan sederhana ini berangkat dari keresahan publik terhadap fenomena yang kadang-kadang kontradiktif dengan logika umum. Kondisi ini entah disengaja maupun tidak, yang pasti ada persoalan serius di Republik ini.  Selanjutnya selamat membaca.

Secara sederhana mari kita bayangkan, yang dialami kehidupan ini sesungghnya bukanlah peran kita. Pandai, cerdas, hebat, menakjubkan bukanlah kita.

Alhasil segala yang kita alami dalam kehidupan ini kesimpulannya adalah “Allahu Akbar”. Allah yang Maha Besar. Bukan kita. Bukan siapapun.

Dua uraian di sebelumnya merupakan ketetapan absolut. Konsepnya menyadarkan kita, bahwa perjalanan makhluk pernah mengalami masa kejujuran.

Berbeda dengan dunia moderen yang sedang berlangsung. Perilaku saat ini dominan persis yang digambarkan oleh Ahmad Albar dalam lagunya “Panggung Sandiwara”. Beberapa baitnya sebagai berikut:

Dunia ini panggung sandiwara, Ceritanya mudah berubah, Kisah Mahabharata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan, Yang harus kita mainkan, Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura

Mengapa kita bersandiwara? Mengapa kita bersandiwara?

Mindset kehidupan manusia, menurut lirik lagu ini adalah panggung sandiwara. Bersandiwara lazim dipahami sebagai perbuatan yang tidak sungguh-sungguh, tidak jujur, tidak sebagaimana seharusnya. Seperti lakon di panggung teater yang pura-pura.

Yang terlibat di panggung hanya “aktor” orang yang ber-acting. Bukan orang hidup yang sedang menjalani kehidupannya. Mereka hanya naik panggung menjalani suatu peran, yang tidak harus bertanggungjawab atas kehidupan nyatanya di bawah atau di luar panggung.

Potret karakter kepura-puraan melanda hampir seluruh kehidupan manusia. Dalam konteks sosial politik misalnya, aktor, acting, pura-pura sering dijumpai.

Kelompok yang sering mengatasnamakan agama sering dijumpai dalam agenda dan gerakan politik. Mereka seolah serius membela kepentingan agama tertentu. Tidak tanggung-tanggung tuduhan serius mereka lontarkan.

Tuduhan dan hujatan mereka alamatkan kepada kelompok lain yang berbeda paham dengan aliran politik mereka. Penistaan, penodaan, dan pembungkaman terhadap tokoh-tokoh berpengaruh di kalangan mereka sering diperdengarkan.

Padahal kelompok ini berharap simpati dari pemilih sosiologis yang kurang lebih 30% dari jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya kelompok ini tidak serius membawa kepentingan agama. Bidikan mereka adalah politik kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.

Sisi lain, ada sejumlah kelompok yang menggunakan slogan saya, kami, dan kita adalah pancasila. Kelompok ini getol mendikleir diri sebagai pecinta/penjaga pancasila, cinta NKRI dan cinta persatuan.

Padahal yang mereka lakukan jauh dari nilai-nilai yang tertanam pada sila dan butir pancasila. Kelompok ini sering memberi label kelompok di luar mereka adalah anti persatuan, anti NKRI, dan anti kebhinekaan.

Kepada kelompok ini aroma pencitraan tak salah dialamatkan. Dalam praktek politik mungkin itu tidak salah. Tapi dalam ranah etika, ini akan bermasalah. Menggunakan  cara negatif tidaklah baik dalam hajatan demokrasi.

Target kelompok ini mayoritas pemilih nasionalis. Sejak reformasi setiap hasil pemilihan legislatif di Indonesia, partai yang bertengger diurutan pertama dan kedua adalah partai yang berhaluan nasionalis.

Yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan pancasilais, sesungguhnya mereka sedang memainkan dan menggugah perasaan pemilih yang berpihak kepada isu-isu nasionalis, agar kelompk ini terpilih dan langgeng berkuasa.

Selain itu, ada individu/kelompok terkesan dermawan musiman. Siklus sosialitanya setiap lima tahun sekali. Menjelang pemilu terlihat begitu peduli terhadap rakyat kecil. Kegiatan-kegiatan yang berbau sosial selalu dilakukan.

Orang-orang berpengaruh di desa biasanya diraktir makan massal, pengobatan gratis, pembagian sembako, pembagian kerudung, sarung, sajadah, pemberian bibit tanaman, serta pemberian uang pengganti konsumsi dan transportasi pada saat pemilihan.

Menariknya, seluruh kegiatan kedermawanannya sering dipajang di media (massa dan elektronik) oleh diri/kelompok atau oleh follower-nya. Saat itu mereka dikondisikan seperti hati malaikat yang bertugas menjalankan perintah kebaikan di bumi.

Setelah momen politik, mereka seperti ditelan bumi tak tau di mana. Jangankan yang kalah dalam pertarungan politik, yang menang saja menghilang. Terhadap mereka terjawab oleh keadaan, sesungguhnya mereka hanya pura-pura baik demi kekuasaan.

Selain itu, ada kelompok aktivis mahasiswa. Secara empiris dulunya aktivis, tapi ketika diberi kekuasaan terpeleset juga dalam pusaran masalah. Misalnya kasus ketua partai tersangkut kasus korupsi dan mendekam di penjara.

Aktivis mahasiswa  yang dulunya sangat radikal  menolak kenaikan harga BBM. Setelah menjadi anggota DPR, ketika harga BBM naik mereka tidak bisa bersuara. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa bahkan diam.

Ada pula yang  dulunya selalu mempersoalkan dominasi asing terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Tetapi setelah berada di lingkaran kekuasaan, justru  membela dominasi asing menguras kekayaan alam Indonesia.

Semuanya memberi jawaban atas pertanyaan, untuk apa dulunya mereka berjuang menjadi aktivis? Kecenderungan rakyat yang dulu mereka perjuangkan sekarang ditinggalkan, bahkan harapan rakyat dilupakan oleh mereka.

Sajian di atas merupakan kondisi empirik yang memprihatinkan. Para kelompok yang diurai keliatan serius memperjuangkan hak-hak publik. Tetapi keseriusan mereka hanyalah palsu belaka. Terhadap mereka benar serius, tetapi serius dalam sandiwara.

Barangkali inilah penyebab, kenapa setiap kali gerakan yang dilakukan oleh aktivis maupun kelompok civil society pasca reformasi selalu gagal, karena minimnya partisipasi publik.

Kurangnya keterlibatan publik karena isu yang diperjuangkan terkesan elitis, serta catatan buruk para aktivis sebelumnya tersimpan rapi dalam memori publik.

Para elit, politikus, dan aktivis, sepertinya senang dengan dunia mereka. Mereka sesungguhnya serius, tetapi serius melakoni dunia kepura-puraan.

Publish: Team KPMLhulondalo.com

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama