Dilema Sarjana

 
Oleh: Rasid Yunus

KPMLhulondalo.com. Artikel singkat ini dipersembahkan untuk para wisudawan-wisudawati Universitas Negeri Gorontalo tahun 2022, khususnya mereka-mereka yang telah menamatkan studinya baik tingkat D3 (Diploma Tiga) maupun S1 (Sarjana). Selanjutnya selamat membaca.

Setiap orang yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, pasti yang dipikirkan adalah kapan selesai, tanpa mengabaikan proses yang mengikutinya. Pertanyaan itu selalu membayangi setiap aktivitas mahasiswa.

Berdasarkan kerja keras dan kerja cerdas, maka waktu yang dinanti tiba pula, yakni menyandang gelar sebagaimana yang dicita-citakan.

Tetapi bukan berarti dengan gelar itu urusan selesai begitu saja. Pertanyaannya adalah apa urgensi gelar terhadap kebermanfaatan kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap gelar yang diperoleh.

Bayangan kata “Sarjana Pengangguran” memang sering kali menyinggung dan menyakitkan. Lazimnya kata itu tidak perlu ditanggapi secara reaktif, sebab boleh jadi kata itu akan menyakitkan bila didiamkan tanpa direspon secara produktif.

Kata ini memang sedemikian populer sampai ke daerah-daerah (desa-desa), setidaknya begitulah amatan penulis ketika berkunjung ke desa-desa.

Masalah “Sarjana Pengangguran” merupakan masalah yang kompleks baik dari segi definisinya maupun dari segi sinergitas antara perguruan tinggi yang memproduksi para sarjana dengan realitas dan lapangan pekerjaan.

Hal ini dianggap memberi andil terhadap hadirnya kata yang mengerikan tersebut. Hanya saja tidak boleh langsung menghakimi salah satu pihak, karena sesuai amatan penulis paling tidak di program studi tempat penulis bekerja.

Selama tiga tahun terakhir, ada lulusan yang terserap di lapangan kerja, baik pegawai negeri, karyawan BUMN, BUMD, BUMS, terlibat dalam ranah politik praktis, bekerja di kantor desa, pendamping desa, bahkan beberapa alumni dipercaya sebagai kepala desa.

Akan tetapi, harus diakui pula bahwa perguruan tinggi masih memiliki kelemahan terutama kesiapan dan kesesuaian terhadap pesatnya perkembangan.

Dunia kerja memang merupakan masalah ekonomi, hanya saja banyaknya kesempatan serta penyiapan tenaga kerja tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi terkait pula dengan masalah penduduk, masalah sosial dan juga masalah hukum.

Selain itu, dunia kerja juga merupakan masalah ideologi, masalah sikap, dan pandangan dari manusia-manusia yang dipersiapkan untuk keberlangsungan hidup bangsa.

Dengan demikian, selain rekonstruksi sistem pendidikan, rekonstruksi pemahaman dan pengetahuan serta penyediaan lapangan pekerjaan, pembaruan pandangan mengenai definsi kerja merupakan satu keharusan di kalangan para sarjana dan masyarakat kita.

Suatu perguruan tinggi menurut Harsja W. Bachtiar sebenarnya dapat menghasilkan: Pertama anggota baru bagi profesi-profesi tertentu, seperti dokter, pengacara, konsultan, petani, pedang, dan lain-lain;

Kedua, yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan lebih lanjut terutama dalam bidang pengetahuan yang dimilikinya;

Ketiga dosen atau guru, yang mempunyai kemampuan untuk mendidik, mempersipakan anak-anak untuk menjadi ahli dalam bidangnya;

Keempat orang terpelajar, yaitu mereka yang tidak berusaha untuk bekerja dalam bidang keahlian yang terbatas, melainkan hendak memanfaatkan keluasan wawasan pikiran dan pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi untuk berperan sebagai tokoh masyarakat menuntut pandangan yang luas.

Jika jalan pikiran Harsja W. Bachtiar ini diterima, maka pengangguran atau merasa menganggur sebenarnya tidak perlu dirisaukan, dan pulang kampung setelah sarjana tentu tidaklah masalah.

Ini merupakan konsekuensi dari kesarjanaan yang bertanggungjawab pada pengembangan masyarakat. Karena sarjana itu sesunguhnya manusia tanpa pengangguran. Semoga bermanfaat.

Publish: Team KPMLhulondalo

Penulis: Rasid Yunus

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama