KPMLhulondalo.com Tulisan ini hadir karena dua hal, pertama terkait momentum tahun baru 2022 membawa harapan-harapan baru tentu baik, dan yang kedua melunasi janji ke teman mengurai beberapa kisah manusia yang tak ada ujungnya. Selanjutnya selamat membaca.
Bumi merupakan hamparan yang sangat luas. Berjuta peristiwa tersaji di dalamnya. Kisah yang dibungkus dalam peristiwa merupakan pesan sunatullah kepada setiap makhluk bahwa bumi, kehidupan, dan makhluk merupakan dzat yang bersiklus.
Dalam beberapa kisah yang dijumpai, ujungnya seolah tak bisa didefinisikan secara epistemologis. Karena wilayahnya berada pada level metafisik, kadang-kadang menggunakan pendekatan sufistik-teologis.
Perspektif metafisik-sufistik-teologis merupakan akhir dari perjalanan kisah makhluk. Pendekatan ini tidak salah. Tapi bagi kaum rasionalis-empiris, mereka tidak selalu meng-iyakan perspektif ini. Karena mereka memiliki tafsir sendiri menyikapi realitas hidup.
Terlepas dari perbedaan pandangan tentang kisah yang menghiasi bumi ini, cerita itu ada di sekeliling kita, bahkan kitapun tak luput dari deretannya. Perasaan senang, sedih, bahagia, terharu, menderita selalu menyelimuti semenjak anak-anak, dewasa, remaja, dan orang tua.
Perasaan-perasaan semacam itu bukan hanya dijumpai di lingkungan keluarga, tetapi ditemukan dalam berbagai level kehidupan. Semisal hubungan rakyat dan pemerintah. Rakyat merasa senang bila mendapat pelayanan yang baik dari pemerintah.
Terjaminnya kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan yang memadai, keadilan didepan hukum, serta kenyamanan yang manusiawi merupakan hak asasi warga negara. Bila pemerintah berhasil mewujudkan hal mendasar ini maka rakyat tentu bahagia.
Tetapi jika yang dialami sebaliknya, maka protes sana-sini. Ekspresi ketidakpuasaan terhadap kinerja pemerintah diperdengarkan dan diperlihatkan melalui jalur yang prosedural dan demokratis.
Dalam beberapa kisah, tidak sedikit kepala negara yang mengundurkan diri atau terpaksa dimakzulkan (impeachment) karena dianggap gagal memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Meskipun diawali dari desakan politis, tetapi ada “sebab musababnya” yakni kelalaian.
Kisah berikut tentang cita-cita Bung Karno yang dimanifestasikan melalui konsep Trisakti yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Trisakti yang dimaksud Sukarno, bahwa kekuatan dan pembangunan bangsa sangat penting ditempuh melalui character building (pembangunan karakter). Lebih jauh, konsep Trisakti membuat Indonesia bergaul di kancah internasional dengan penuh harga diri dan menghormati kedaulatan masing-masing negara di dunia.
Selain itu, Indonesia diyakini dapat merencanakan dan menyusun pola kerja sama ekonomi dengan negara-negara industri besar dengan percaya diri dan saling menguntungkan, tanpa harus ada negara yang dominan karena faktor superior dan inferior.
Kisah lain yang menarik adalah sosok Mohammad Hatta tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an Bally dianggap merek sepatu bermutu tinggi pada saat itu. Demi sepatu itu, Bung Hatta berusaha menabung.
Namun, uang tabungannya tidaklah pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, Bung Hatta tak pernah bisa memiliki sepatu Bally idamannya itu.
Selain kisah para tokoh di atas, terdapat pula kisah tokoh lainnya menyangkut cinta tak berujung seperti: kisah Pierre Tendean dan Rukmini. Kisah kedua sejoli ini berawal dari teman-teman mereka yang menjodohkan keduanya.
Pierre memang dikenal sebagai pria tampan yang digandrungi banyak wanita. Namun hanya satu wanita pujaan hatinya yakni Rukmini. Saat menjabat sebagai ajudan Jenderal Nasution, Pierre Tendean memantapkan niatnya untuk melamar Rukmini dan lamaran itu terjadi serta disepakati pernikahan bulan November tahun 1965.
Namun, cinta tak sampai berujung pernikahan. Pierre tewas dan jasadnya ditanam di Lubang Buaya pada tragedi Gerakan 30 September tahun 1965. Padahal dua bulan lagi dia akan menjadi pengantin. Saat hari lamaran itulah, terakhir kalinya Pierre dan Rukmini bertemu.
Selanjutnya, cinta Tan Malaka dan Syarifah Nawawi. Pahlawan Nasional Tan Malaka memiliki cinta yang dibilang unik. Tan Malaka pernah ditanya oleh salah seorang pengikutnya Adam Malik soal dunia percintaan. Tan Malaka kemudian mengaku pernah tiga kali merasakan jatuh cinta.
Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali di Indonesia. Khusus di Indonesia, Tan Malaka pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi (seangkatan) yang bernama Syarifah Nawawi. Namun, tiga kali Tan Malaka mengungkapkan cinta kepada Syarifah, jawaban Syarifah tetap penolakan.
Tan Malaka mengalami cinta bertepuk sebelah tangan. Mirisnya, Syarifah menikah dengan R.A.A Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur yang saat itu sudah memiliki lima orang anak dari pernikahannya sebelumnya.
Kisah-kisah di atas merupakan contoh dinamika hidup manusia. Walau berbeda mediumnya, namun aktor dan ceritanya menarik untuk didalami. Bagi pembelajar tidak melewatkan kisah tersebut begitu saja. Dibalik peristiwa mereka menelaah hikmah didalamnya.
Karena setiap kisah tersirat makna kebaikan yang harus diperjuangkan. Untuk itulah, tidaklah mengherankan ada kelompok formal maupun nonformal melanjutkan pola perjuangan tokoh yang digandrungi sebelumnya.
Semisal kelompok Marhaenisme. Kelompok ini getol memperjuangkan konsep Bung Karno yang memiliki nilai kebaikan bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Marhaenis merupakan teori perjuangan dan praktik perjuangan untuk mengangkat derajat kaum terpinggirkan di Indonesia dari belenggu jajahan politik, pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan untuk bebas merdeka dan berdaulat.
Marhaenisme adalah keseluruhan ajaran Bung Karno, baik sebagai ideolog, politikus maupun negarawan, yang tertulis maupun lisan yang harus diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman. Ajaran marhaenis ini menjadi roh perjuangan para kelompok marhaenis di Indonesia sampai saat ini.
Sementara itu, kisah tentang perjalanan cinta Pierre Tendean dan Rukmini, Tan Malaka dan Syarifah Nawawi mungkin hanya berlaku bagi mereka berempat. Karena cinta yang terpatri dalam diri insan itu hanya mereka berempat yang tau kapan ujungnya.
Berbeda dengan kisah pemikiran Sukarno. Kendati Sukarno telah tiada namun konsep dan nilai perjuangan-Nya tetap diteruskan oleh pengikut-Nya, meskipun sentuhan sikologis berbeda.
Karena antara karya, individu, dan cinta merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Orang lain boleh saja melanjutkannya, tetapi menemukan ujung tidaklah mudah. Sebab, setiap orang punya kisah yang berujung dan tak berujung (misteri).
Publish: TIM KPMLhulondalo
Posting Komentar