POLARISASI


OLEH RASID YUNUS

(KPMLhulondalo.com/16/08/2021) Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76 tahun. Isinya mengurai tentang polarisasi yang tumbuh dari masa ke masa, implikasinya  terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, serta upaya positif dalam menyikapi polarisasi di masa yang akan datang. Selanjutnya selamat membaca.  

Kerr menjelaskan bahwa polarisasi  adalah kecenderungan ke arah posisi yang ekstrim. Polarisasi ialah proses, perbuatan, kecenderungan pembagian atas dua bagian yang berlawanan dan ekstrim.

Pergeseran yang penuh resiko merupakan suatu gejala pergeseran pilihan yang mengundang polarisasi kelompok. Polarisasi kelompok yakni kecenderungan atau gejala kelompok yang menyebabkan orang mengubah keputusan mereka, baik ke arah yang lebih teliti atau lebih mengandung resiko. Polarisasi biasanya terjadi karena faktor empati yang keliru.

Dalam perkembangannya, bangsa kita selalu diselimuti oleh polarisasi. Pada masa pra-kolonial, ketika negeri ini masih berbentuk kerajaan, polarisasi sering mewarnai aktivitas raja dan rakyatnya. Perebuatan kekuasan secara internal kerajaan, resistensi, ekspansi dan penaklukan kerajaan lain mewarnai sejarah kebangsaan Indonesia.    

Pada masa kolonialis-imprealis, penduduk sering diperhadap-hadapkan oleh penjajah. Tujuan penjajah menskenario keadaan ini agar masyarakat terbelah, kosentrasi pecah, membenci satu sama lain, sehingga misi mengeruk sumber daya alam berjalan mulus.

Masa Kebangkitan Nasional dengan lahirnya organisasi politik-non politik, yang bertujuan mengusir penjajah melalui siasat pengetahuan. Tetapi, di tubuh organisasi ini terjadi polarisasi yang tidak sehat. Sebut saja perpecahan di tubuh organisasi Serekat Islam (SI) yang melahirkan SI Merah dan SI Putih.

Saat penjajahan Jepang, munculnya berbagai macam lembaga taktis untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, seperti Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada masa BPUPKI dan PPKI terjadi perbedaan pendapat tentang rumusan Pancasila yang implikasinya masih terasa sampai saat ini. Namun, satu hal yang bisa kita pelajari dari para tokoh sebelumnya, baik pada zaman kerajaan sampai pada masa penjajahan Jepang adalah konsensus mereka melahirkan Indonesia menjadi negara berdaulat secara de facto dan de jure pada tanggal 17 Agustus 1945.

Zaman Orde Lama setelah pemilu tahun 1955 yang disebut pemilu teraman, terdemokratis yang melahirkan PNI sebagai pemenang pertama disusul oleh Masyumi, kemudian NU, PKI dan PSII.

Memang pemilu tahun 1955 adalah yang teraman. Akan tetapi, pasca pemilu pemerintahan Soekarno diperhadapkan pada polarisasi yang tidak sehat. Tuduhan yang datang dari beberapa kalangan mengenai keterlibatan Soekarno dalam melindungi komunis serta akutnya permasalahan yang melanda Indonesia. Akibatnya, rezim Orde Lama berakhir dan digantikan oleh rezim Orde Baru (Orba).

Walaupun di zaman Orba stabilitas politik terjamin dengan cara meleburkan kepentingan politik ke-tiga partai besar dan kondisi keamanan negara terkesan baik. Tapi rezim Orba tidak mampu membendung krisis ekonomi yang menyebabkan rupiah anjlok mencapai angka 1 US dolar @ RP 16.000-17.000.

Rezim Orba tidak mampu pula membendung masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), ditambah lagi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim Orba. Kekecewaan rakyat termanifestasikan lewat gerakan parlemen jalanan (demonstrasi) yang berkepanjangan dan gawat. Akhirnya,  Soeharto mundur dari kursi presiden dan berakhirlah rezim Orba.

Zaman reformasi nampaknya polarisasi masih saja terjadi. Perbedaan pendapat dikalangan para tokoh reformis tentang pengganti Soeharto, ada yang menghendaki Habibie, namun tidak sedikit pula yang menghendaki Megawati sebagai presiden pengganti Soeharto saat itu.

Selain itu di zaman reformasi, terjadi konflik horizontal yang gawat di republik ini. Diantaranya tahun 1998 konflik Poso, konfik Maluku tahun 1999, konflik sampit tahun 2001 dan konflik-konflik lainnya yang menyebabkan banyaknya korban (nyawa dan harta benda).

Terlepas dari semua polarisasi dan peristiwa sebelumnya, jika tidak memaknai secara utuh kerangka kerja polarisasi, maka implikasinya tidak baik bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Maksudnya, jika dikaji dalam perspektif sunatullah, maka polarisasi adalah suatu keniscayaan. Sebuah kewajaran bila polarisasi dikaitkan dengan kondisi sosial kultural bangsa. Merawat kemajemukan sosial baik kemajemukan vertikal maupun horizontal merupakan bentuk pengelolaan polarisasi yang diinginkan.

Ketika kita berbicara pelestarian kebudayaan sebagai identitas dan aset positif bagi bangsa, sesungguhnya kita telah merawat polarisasi yang positif. Akan tetapi, bila polarisasi dikaitkan dengan kepentingan politik, maka disitu butuh kehati-hatian.

Sebab, arena politik merupakan arena kekuasaan. Pada level ini, orang diuji sejauh mana konsistensi dia merawat makna polarisasi yang baik. Dalam hal kekuasaan, biasanya orang terjebak pada makna polarisasi yang sempit.

Saat ini orang memainkan polarisasi selalu beririsan dengan politik kekuasaan yang tidak sehat. Penggunaan politik identitas, politik dendam kusumat, dan politik aliran yang berujung pada retaknya hubungan baik sebagai sebuah bangsa sering dijumpai.

Kedepannya kita berharap polarisasi yang tidak sehat ini segera disudahi. Apalagi dunia saat ini sedang dilanda Wabah Covid-19, yang telah menelan banyak korban jiwa dan tidak tau kapan berakhirnya. Olehnya, kondisi ini mengharuskan kita bekerja sama untuk keluar dari krisis kemanusiaan ini.

Marilah bergandeng tangan untuk membangun bangsa ini. Tinggalkan segala kemelut yang ada, karena bangsa ini membutuhkan kolektifitas warganya. Jangan mudah terhasut oleh kepentingan kelompok tertentu.

Jangan berbicara memperbaiki bangsa sementara masih bergelut dengan urusan politik-identitas-aliran, politik dendam kusumat dan politik telat move on (telat melupakan kenangan buruk).

Sebab persoalan bangsa ini dalam konteks politik bukan hanya menyangkut partai politik, bukan pula urusan menang dan kalah dalam setiap hajatan demokrasi. Tapi yang sangat krusial adalah politik telat move on bahkan tidak pernah move on. Sehingga kebencian dan dendam selalu terproduksi secara masif. Akibatnya cita-cita bangsa ini akan terganggu.

Kita berada dalam dua pilihan, yakni membiarkan polarisasi yang tidak sehat kemudian berimplikasi negatif pada generasi yang akan datang, atau memperbaiki sikap dan tindakan agar mewariskan polarisasi positif kepada generasi selanjutnya. Selamat Hari Kemerdekaan 17 Agustus tahun 2021. Jayalah Bangsaku.


Penulis: Rasid Yunus

Publis: Pebriyanto A. Hulinggi

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama