Oleh
Rasid Yunus (Pemuda Lemito)
Tulisan ini
dipersembahkan untuk masyarakat Lemito (lebih khusus kepada para ahli bahasa,
sejarahwan, budayawan/antropolog). Uraiannya memuat dan memperkenalkan kata
Ko’i. Bagaimana makna operasional kata ini, silahkan dinikmati. Selanjutnya,
selamat membaca.
Lemito berasal dari
bahasa Tomini yang mengandung arti ada “Orang”. Secara geneologis tahun 1896
sekelompok suku Tomini yang dipimpin oleh Raja Autango berlayar dari arah Barat
(Moutong Sulawesi Tengah), menuju ke Timur (melewati Lemito Gorontalo) kemudian
terdampar di pulau Payata (Dokumen Pemerintah Pohuwato).
Anggota rombongan itu
naik ketiang perahu dan melihat ada kumpulan asap di pulau lain. Hal ini
disampaikan kepada temannya yang bernama Lemi bahwa di seberang ada “To”. Dalam
bahasa Tomini “To” artinya “Orang”. Maka sejak saat itulah sumber kumpulan asap
ini disebut Lemito, yang sekarang diabadikan menjadi sebuah nama salah satu
desa dan kecamatan di Pohuwato.
Dulunya Lemito
merupakan Ibu Kota Kecamatan Popayato yang membawahi 13 Desa yakni Lemito,
Lomuli, Wanggarasi Barat, Wanggarasi Timur, Milangodaa, Londoun, Tahele, Bunto,
Popayato, Telaga, Torosiaje, Dudewulo dan Molosipat. Sebagai implikasi dari
otonomi daerah, Kecamatan Popayato pecah menjadi beberapa kecamatan yakni
Kecamatan Popayato, Popayato Barat, Popayato Timur, Wanggarasi dan Kecamatan
Lemito.
Dalam perkembangannya, nama Lemito bukan hanya satu desa tapi dua desa (Lemito Utara dan Lemito). Nama Kecamatan yakni Kecamatan Lemito ibu Kotanya adalah Lemito Kabupaten Pohuwato. Saat ini Kecamatan Lemito membawahi 8 desa yaitu Desa Lemito, Lemito Utara, Kenari, Wanggarasi Barat, Wanggarasi Tengah, Suka Damai, Lomuli dan Babalonge. Luas wilayah 459, 80 km2, dengan jumlah penduduk 11.923 jiwa (Lemito dalam angka, 2019).
Klik Link berikut: https://www.kpmlhulondalo.com/2021/05/partisipasi-sosial-kaum-muda-terpelajar.html
Di Kecamatan Lemito,
ada satu bahasa/kata etnik sebagai kata tambahan dalam komunikasi sehari-hari.
Kata tersebut adalah Ko’i. Kata ini secara gramatikal mengandung makna majemuk.
Terkadang dimaknai sebagai ekspresi kasih sayang, ekspresi pengeluhan, ekspresi
bahasa pertemanan, bahkan sering digunakan sebagai ekspresi bahasa kritis.
Contoh percakapan
menggunakan kata Ko’i: dari mana ngana ko’i , mo ka Lemito ko’i, “ngana pe
tugas so selesai, ala belum ko’i. Panggilan sayang kepada suami/istri
(ko’i..ko’i. di mana), antar kamari di sini dia ko’i. Bahasa kritis terhadap
pemerintah ala ko’i dorang ini tida butul ba urus torang pe daerah dan masih
banyak lagi kalimat yang sering diberi awalan – akhiran Ko’i.
Hal ini menjadi
tantangan para ahli (bahasa, antropolog maupun ahli sejarah) untuk menelusuri
uniknya kata Ko’i, sehingga diperoleh epistemologi yang komprehensif-memadai
tentang kata ini.
Sepintas tentang Ko’i.
Di Jepang kata Ko’i diartikan sebagai ikan karper. Dalam dunia olahraga Ko’i
merupakan singkatan dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Pun dalam dunia
bisnis Ko’i dijumpai di Taiwan yaitu “Koi The” sebuah jaringan kedai miunuman
susu mutiara asal Taiwan. Bahkan sekarang perusahan “Koi The” merambat ke
bidang makanan dan minuman yang tersebar di beberapa negara seperti Singapura,
Malaysia, Macau, Kamboja dan Indonesia.
Terlepas dari
majemuknya makna Ko’i, di Lemito kata ini merupakan identitas pergaulan
sehari-hari. Ketika bertemu dan berbicara di manapun, tidaklah sulit menelusuri
asal usul orang Lemito. Sebab dalam percakapan, kata Ko’i sering muncul.
Apalagi percakapan sesama orang Lemito.
Klik Link berikut: https://www.kpmlhulondalo.com/2020/11/karakter-bangsa-dari-pohuwato.html
Hanya saja kata Ko’i
penggunaannya fleksibel, tergantung dengan siapa orang Lemito berbicara dan
dalam ruang serta konteks apa pembicaraannya. Ko’i merupakan penghela
kebersamaan orang Lemito. Oleh karena itu, di manapun orang Lemito berada
merasa bersaudara. Sebab ikatan antropologis Ko’i menjadi perekat
masyarakatnya.
Bagi penulis Ko’i bukan
sekedar kata dalam konteks komunikasi. Tetapi Ko’i lahir merupakan ekspresi
kebudayaan orang Lemito. Ko’i bisa dijelmakan sebagai modal sosial orang
Lemito, sebab romantisme Ko’i tidak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang
entitas masyarakat Lemito.
Dimanapun orang Lemito
berada, Ko’i tetap selalu mengikuti dan menyelimutinya. Karena Ko’i merupakan
bagian dari jati diri dan kebudayaan masyarakatnya. Hal ini positif guna
menghadapi terpaan globalisasi yang membawa misi menghomogenkan kebudayaan
dunia, dan mengabaikan local genius yang mengandung makna kebaikan untuk
keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Semoga bermanfaat.
Publish: Pebriyanto
Posting Komentar