Oleh:
Rasid Yunus
Tulisan singkat ini dipersembahkan sebagai refleksi
kelahiran Pancasila 1 Juni. Memuat sejarah singkat, tokoh sentral dibalik
kelahiran Pancasila, nilai dan kondisi ber-Pancasila saat ini. Selanjutnya,
selamat membaca.
Tepat 76 tahun yang lalu, seorang pemuda berpidato
tanpa teks di depan sidang BPUPKI. Sidang itu membahas tentang dasar negara
Indonesia yang sedang mempersiapkan kemerdekaan.
1 Juni 1945 kala itu Soekarno memasuki usia 44 tahun,
menyampaikan konsep dasar negara. Konsep tersebut secara kontekstual masih
relevan saat ini. Dasar negara yang disampaikan oleh seorang pemuda pemberani ini
adalah Pancasila.
Pancasila berisi kebangsaan Indonesia,
internasionalisasi atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan
sosial serta ketuhanan Yang Maha Esa. Lima poin ini disampaikan Soekarno dan
mendapat persetujuan anggota BPUPKI maupun anggota PPKI. Walaupun poin ini diperas
menjadi tiga dan satu. Karena melewati perenungan dan kajian mendalam, maka
dikembalikan lagi ke-lima.
Tidak habis di situ, lima poin tersebut dibahas
lagi oleh panitia sembilan sehingga
melahirkan Piagam Jakarta (Sila pertama 7 kata), tetapi atas dasar persatuan
Indonesia, maka kesepakatan Piagam
Jakarta (khusus 7 kata sila pertama) dianulir dan digantikan sila pertama Pancasila
sebagaimana saat ini.
Sebagai apresiasi atau semacam memperingati,
tidaklah mengherankan setiap hari senin atau hari-hari besar nasional, teks Pancasila
dibacakan pada setiap upacara. Biasanya yang mengambil peran ini adalah satuan
pendidikan tertentu.
Tetapi, tidak sedikit pula lembaga pemerintah
maupun non pemerintah mengadakan upacara, dan membacakan teks Pancasila pada
setiap upacara tersebut. Seolah ini menjadi rutinitas untuk menjalankan Pancasila.
Beberapa acara TV berkonten hiburan, hafalan Pancasila
sering disuguhkan. Pemilihan putri Indonesia salah satunya. Ada salah satu
finalis ketika ditanya oleh juri tidak hafal sila Pancasila secara baik. Juga
calon kepala daerah maupun kepala daerah, ada pula yang tak hafal sila Pancasila.
Beginilah potret memperingati Pancasila pada
generasi kekinian. Yang menjadi soal apakah dengan upacara (membaca teks Pancasila),
show-hafalan Pancasila, menjadikan masyarakat
paham secara fundamental? Akankah cara ini dapat mengeksplor nilai historis, yuridis-konstitusional dan realitas-aplikatif
yang menjadi titik esensial Pancasila?
Dalam Pancasila terdapat dua hal. Pertama Pancasila
dimaknai sebagai ideologi atau cita-cita bangsa Indonesia dan kedua sebagai
falsafah atau nilainya digali dari sejarah panjang nenek moyang bangsa
Indonesia (Kaelan, 2013). Cita, nilai dan tokoh peletak Pancasila tersaji
berikut ini:
Mpu Prapanca yang hidup di era Raja Hayam Wuruk
Majapahit, pada tahun 1365 M menulis
Kakawin Nagarakretagama. Pada Kakawin ini ditemukan istilah Pancasila dengan lima
larangan (dilarang kekerasan, mencuri, dengki, berbohong dan mabuk karena miras).
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma. Salah satu bait
dari Kakawin ini diambil menjadi motto atau semboyan RI “Bhineka Tungggal Ika”. Mpu Tantular hidup pada abad ke-14 M, dan
seorang pujangga ternama. Ia pun hidup di era pemerintahan raja Hayam Wuruk Majapahit.
Soekarno ketika
diasingkan ke Ende (Flores) Nusa Tenggara Timur kurang lebih lima tahun. Pada Jum’at
Malam sering duduk di bawah pohon Sukun, kemudian merenung dan berimajinasi
tentang dasar negara Indonesia kelak merdeka. Hasil imajinasi dan perenungan
mendalam tersebut melahirkan sila dan nilai Pancasila.
Sultan Hamid II atau Syarif Abdul Hamid Alkadrie
pada tahun 1950 merancang lambang negara “Burung
Garuda”. Pada lambang tersebut khusus perisainya berwarnah kuning keemasan
yang berarti kejayaan kerajaan-kerajaan di tanah air kala itu (semisal
Sriwijaya dan Majapahit) yang dikenal sebagai kerajaan ekspansionis.
Suguhan di atas bukan sekedar pelengkap paragraf. Tetapi
mengandung makna yang mendalam. Pancasila tidak lahir begitu saja. Pancasila
hadir sebagai etalase, perjumpaan cerita kebudayaan dan sejarah produktif bangsa
Indonesia.
Oleh karena itu, Notonagoro menyebut bahwa Pancasila
secara “Kausa Materialis” merupakan
kesatuan unsur yang digali dari nilai kebudayaan, adat-istiadat dan nilai
religiusitas bangsa Indonesia (Notonagoro, 1975).
Diskursus sosok centrum perancang Pancasila menjadi
hal yang menarik. Jika menelusuri sumber objektif, maka tidaklah berlebihan
menaruh perhatian kepada Soekarno. Kendati di era Orde Baru ada klaim lain,
bahwa Soekarno bukanlah satu-satunya tokoh penggali Pancasila. Dibalik klaim
ini adalah Nugroho Notosutanto dikenal dekat dan dibesarkan oleh rezim Orde
Baru.
Tetapi, memperhatikan penyampaian Notonagoro pada tahun
1951 saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Hukum kepada
Soekarno di UGM, Notonagoro menyebut “Andalah (Soekarno) penggali/penemu Pancasila”.
Pun bantahan A.B Kusuma disertai dalil-Nya terhadap pernyataan Nugroho Notosutanto mengenai tokoh penggali Pancasila.
Tampaknya, A.B Kusuma setuju bahwa Soekarnolah tokoh centrum dibalik lahirnya Pancasila
(S. Soetrisno, 2006).
Ber-Pancasila tidaklah cukup melalui hafalan, diskursus a-historis, pajangan semacam
pernak pernik di lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Membuat maskot lambang
negara maupun kegiatan ceremony
lainnya.
Bukan pula pengakuan tanpa terukur “saya, kita, dan kami Pancasila”. Pelabelan nama (gedung dan kampung Pancasila). Memberi prestise terhadap lembaga negara dan organisasi non pemerintah dengan predikat pengawal Pancasila, serta berbagai sebutan utopis lainnya. Itu tidaklah cukup.
Ber-Pancasila berarti konsisten terhadap jati diri,
kebudayaan bangsa, kebaikan di semua level poros kenyataan kehidupan. Secara
sederhana Pancasila sebagai payung aktifitas pada IPOLEKSOSBUDHANKAM, yang
aplikasinya dalam kenegaraan.
Ber-Pancasila berarti teguh menjalankan sila, nilai dan butir (aplikatif) Pancasila. Memperkuat identitas diri, memiliki visi individual-kemasyarakatan-kenegaraan yang memadai dengan tantangan zaman.
Link: https://www.kpmlhulondalo.com/2020/11/karakter-bangsa-dari-pohuwato.html
Pendeknya, Ber-Pancasila tidak cukup dengan suguhan
formalitas lalu abai terhadap substansi. Boleh jadi kita bangga terhadap
formalitas itu. Tetapi, sesungguhnya hal
itu mereduksi substansi Pancasila.
Keringnya akan esensi-substansial Pancasila,
berarti ingkar terhadap nilai religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan, yang merupakan kristalisasi dari kondisi objektif sosio-kultural
bangsa Indonesia.
Selamat memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 2021 di tengah Pandemi Covid-19. Jayalah bangsaku. Semoga bermanfaat.
Publish: PEBRIYANTO
Posting Komentar