Pilkada Jujur (Benarkah?)

 


Oleh: Rasid Yunus


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak  tahun 2020 telah dilaksanakan dengan mematuhi Prokes Covid-19 yang ketat. Pilkada tersebut diikuti oleh 270 daerah, dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota.

Tidak semua pelaksanaan Pilkada berjalan mulus. Termasuk Pilkada tahun 2020. Gugatan sana-sini dan penyelesaiannya menunggu satu persatu putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK). 

Mengutip situs MK, seluruh tingkatan pelaksanaan Pilkada tahun 2020 mengalami gugatan. Gugatan terjadi baik Pilkada Gubernur, Wali Kota dan Bupati. Seolah menjadi tradisi, bahwa bagian akhir dari siklus Pilkada adalah MK.

Jika ditelisik lebih jauh, maka MK sesungguhnya lembaga yang menangani akutnya masalah demokrasi termasuk Pilkada. Berbagai gugatan hasil Pilkada ke lembaga MK merupakan informasi buruknya pelaksanaan demokrasi, termasuk hasil Pilkada 2020.

Potret di atas merupakan kondisi faktual. Sebagian publik beranggapan bahwa jalur MK merupakan langkah konstitusional akhir dan sah dalam seluruh rangkaian Pilkada. Itu tidak salah, dan argumentasi ini biasanya muncul dari pihak-pihak terkait.

Pihak terkait yang dimaksud adalah KPU, Bawaslu, Parpol, para kontestan (tergugat dan penggugat). Inilah saluran akhir dari penanganan sengketa Pilkada. Walaupun, dari putusan MK ada pihak yang merasa dirugikan begitupun sebaliknya. 

Bagi sebagian orang, sengketa, gugat-menggugat, pihak diuntungkan-dirugikan dan berbagai kata sinonim-Nya harus ditelaah secara kritis dan matang. 

Prinsip Pemilu dan Pilkada Langsung yakni Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber Jurdil) hanya lip service belaka. Selain itu, prinsip bebas dan adil (free and fair) hanyalah slogan utopis yang seolah tak berimplikasi substantif.

Seiring gugatan menyertai Pilkada, ada masalah serius dalam proses demokrasi kita. Persoalan ini terkait dengan kejujuran. Sebelum kontestasi Pilkada dimulai, semua pihak selalu mengumandangkan kejujuran.

Tetapi pada prakteknya, kejujuran seringkali diabaikan demi manisnya bayangan kekuasaan. Para pihak tidak peduli lagi apakah yang dilakukan itu benar atau salah, juga baik atau buruk. Terpenting adalah kekuasaan.

Memang menegakkan kejujuran Pilkada memerlukan sumber daya baik dari segi infrastruktur, anggaran, mindset penyelenggara maupun mindset para kontestan. Kesemuanya itu merupakan mata rantai yang tak boleh putus.

Belum lagi praktek transaksi politik (mahar politik) menjelang pencalonan demi mendapatkan dukungan dari parpol tertentu. Parpol seolah memanfaatkan momen ini demi meraup keuntungan ekonomi.

Dalam bukunya Pramono Anung (2013) tentang “Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi” ada perubahan luar biasa pemilihan anggota legislatif, terutama soal biaya yang mahal. Biaya mahal yang dimaksudkan untuk mahar politik demi rekomendasi parpol tertentu dan biaya operasional pada masa kampanye.

Walaupun buku itu lebih banyak mengulas tentang para calaon anggota legislatif, tapi paling tidak dalam konteks kekinian terkait dengan kontestasi Pilkada hal yang sama pula terjadi.

Dalam artikel yang ditulis oleh Misbah Zulfa Elizabeth (2017) tentang “Pilkada Bersih, Jujur dan Adil Sebagai Cita-cita” dijelaskan tidak sedikit kandidat yang mengombinasikan tim sukses, broker, dan birokrasi dalam melakukan politik uang.

Hal ini biasanya terjadi dalam hajatan pilkada, pemilu presiden dan pemilu legislatif.

Kandidat menjadikan politik uang sebagai bagian dari strategi pemenangan. Hal lain yang berkaitan dengan politik uang adalah modus politik uang.

Modus politik uang yang dipilih adalah dengan pemberian uang secara langsung kepada pemilih. Caranya dengan membagikan uang kepada peserta temu kader dan membagikan uang kepada massa kampanye.

Dalam konteks pemilu, baik pemilu presiden, legislatif maupun pemilukada, beberapa istilah menunjukkan praktek politik uang, misalnya serangan malam atau serangan fajar.

Cara lain adalah melalui pemberian uang secara tidak langsung, terutama melalui kepala desa dan perangkatnya, tokoh agama serta broker-brokter lainnya.

Orang-orang berpengaruh di desa biasanya diberi insentif uang atau program, mentraktir makan massal, pengobatan gratis, pembagian sembako, pembagian kerudung, sarung sajadah, pemberian bibit tanaman, serta pemberian uang pengganti konsumsi dan transportasi pemilihan.

Sajian dari Pramono Anung dan Misbah Zulfa Elizabeth di atas merupakan fakta yang berada di sekitar kita. Miris rasanya proses demokrasi yang diwarnai dengan intrik tak produktif. Intrik kekuasaan dengan menghalalkan segala cara merupakan pengingkaran terhadap nilai dan substansi demokrasi.

Kelancangan berbicara tentang demokrasi-kerakyatan, layaknya diukur dari proses awal sampai pada titik akhir memperoleh kekuasaan. Jika yang dilakukan melanggar etik-moral, maka sesunguhnya mereka tidak sedang berdemokrasi, tapi sedang melancarkan tipu muslihat demi kekuasaan.

Anehnya, praktek seperti ini menyasar seluruh cluster msyarakat. Elit politik, birokrat, tim sukses, pemuda aktivis bahkan yang katanya kaum cerdik pandai melegasi sikap yang kurang etis ini.

Jika dikaitkan dengan elit, pasti objeknya terarah dan menyalahkan masyarakat. Padahal sang elitlah yang paling bertanggungjawab. Sebab merekalah (elit) yang memperkenalkan bagaimana sistem “Money Politik”, serta mekanisme kerja “Serangan Fajar” itu.

Artinya, sang elit politik yang memulai semua ini. Partai politik yang berfungsi sebagai pendidikan politik dan pengendali konflik masyarakat, ternyata tidak dijalankan secara maksimal, bahkan terkesan gagal.

Kemudian berkurangnya stok pemimpin daerah yang berkompeten  karena tidak memiliki materi yang cukup untuk ikut berkontestasi dalam Pilkada. Dalam konteks ini, Pilkada bukan lagi wilayah gagasan atau ide, tetapi ditentukan oleh seberapa banyak uang yang dimiliki.

Kurangnya pelaksanaan demokrasi secara baik, dan mahalnya ongkos politik merupakan implikasi dari praktek ini. Siapapun kepala daerah yang terpilih dari proses yang a-moral ini, bisa dipastikan fokusnya akan terbagi antara pengabdian/pembangunan dan pengembalian modal.

Apalagi diperhadapkan pada PR tentang keberhasilan Pembangunan Indeks Manusia (IPM) yang memfokuskan pada peningkatan kesehatan, ekonomi dan pendidikan masyarakat. Sudah pasti akan mengalami hambatan karena kosentrasi yang terbagi.

Pemerintahan yang demokratis bukan hanya tuntutan regulasi, tetapi merupakan cita-cita bersama. Jika memperbaiki pelayanan pemerintahan, maka pastikan yang memegang pucuk pimpinan lahir dari proses demokrasi yang benar.

Dalam bukunya Samuel P. Huntington tentang “Gelombang Demokratisasi Ketiga” dijelaskan bahwa pemerintahan yang demokratis lahir dari proses demokrasi yang benar sesuai dengan regulasi dan nilai-nilai kebaikan.

Artinya dalam demokrasi maupun Pilkada yang diperhatikan bukan hanya siapa yang terpilih atau pemenang, tetapi yang paling penting ialah bagimana proses yang dilalui untuk menang. Karena itulah basis dasarnya.

Tentang Penulis

o  Ketua Jurusan Ilmu Hukum & Kemasyarakatan Prodi PPKn FIS-UNG

o  Ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI) Wil. Gorontalo

o  Anggota Ikatan Keluarga Alumni  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII) Gorontalo

o  Kader Forum Komunikasi Pelajar Mahasiswa Muslim (FKMM) Provinsi Gorontalo

o  Ketua Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Pohuwato (KPMIP) Prov. Gorontalo tahun 2007

o  Kader Kesatuan Pelajar Mahasiswa Lemito (KPML) Kab. Pohuwato Prov. Gorontalo

o  Mahasiswa Pasca Doktoral Pendidikan UNG



Penulis: RASID YUNUS

Publish: PEBRIYANTO HULINGGI


0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama