PILKADA UNTUK SIAPA

 


Oleh
RASID YUNUS

Dipastikan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 akan diselenggarakan 9 Desember 2020. Hajatan demokrasi ini akan diikuti oleh 270 daerah, dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Diantara daerah tersebut tidak terkecuali Provinsi Gorontalo.

Sempat mengalami penundaan karena Pandemi Covid-19, melalui berbagai macam diskusi dan kajian, pertimbangan kekosongan jabatan kepala daerah yang berimplikasi kurang maksimalnya pelayanan kepada masyarakat, juga karena anggaran yang sudah terkuras sebelumnya, maka pemerintah tetap melanjutkan Pilkada walaupun di tengah Wabah Covid-19. Tentu memperhatikan protokol kesehatan.  

Sebagai masyarakat, tentu kita mengaminkan secara kritis apa yang dikehendaki oleh negara. Apalagi berkaitan dengan pelaksananaan demokrasi dan kepentingan rakyat. Tetapi, demokrasi bukan hanya dilihat pada aspek partisipasi politik saja. Yang tidak kalah penting adalah kesehatan masyarakat. Untuk apa menyelenggarakan hajatan demokrasi, sementara hak kesehatan masyarakat diabaikan.

T.H Marshal membagi tiga macam hak kewarganegaraan, yakni 1) hak political (political rights) mencakup hak untuk berpartisipasi dalam keputusan dan pemilihan publik; 2) hak sipil (civil rights) meliputi kebebasan dalam berpendapat, gagasan, keyakinan dan properti dan 3) hak sosial (social rights) seperti hak keamanan, kesejahteraan, kesehatan yang sesuai dengan standar hidup masyarakat (F. Kalidjernih, 2009).

Apa yang disampaikan oleh Marshal, merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh masyarakat demokrasi. Perlindungannya pun harus dipastikan sesuai dengan standar hidup masyarakat. Jadi hak politik, sipil dan sosial merupakan kebutuhan primer masyarakat Indonesia yang memang diatur dalam konstitusi.   

Terkait Pilkada 2020, berada pada bayang-bayang tanya. Hal ini wajar, karena situasinya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya tidak ada ancaman penyakit baik bagi masyarakat maupun penyelenggara, maka Pilkada tahun ini Covid-19 mengintai.  Apalagi tren kasus setiap hari mengalami peningkatan, dan tak diketahui kapan berakhir.

Apakah pelaksanaan Pilkada 2020 menjamin masyarakat bebas dari Covid-19, atau jangan-jangan proses pelaksanaan Pilkada 2020 menjadi cluster baru penyebaran Covid-19. Pertanyaan ini lahir berdasarkan perkembangan Covid-19 yang menyasar hampir seluruh kelompok dan aktifitas masyarakat yang melibatkan kerumunan orang banyak.

Negara tidak boleh abai terhadap  kecemasan publik. Belum lagi bicara timing, kesehatan, kesejahteraan dan substansi demokrasi itu sendiri. Apapun kondisinya, masyarakat tentu berharap, bahwa kebutuhan mereka tetap terjamin. Walaupun nada-nada pesimis sering diperdengarkan.

Suara pesimis dari masyarakat tentu beralasan. Karena selama ini produk dari Pilkada langsung kurang berbanding lurus dengan harapan masyarakat. Tidak jarang ditemui pasca Pilkada masyarakat terbelah, bahkan menyisahkan konflik yang berakibat pada jatuhnya korban (harta, luka dan nyawa).

Hasil riset Habibie Centre, Pilkada digelar 2005-2013 telah terjadi konflik Pilkada yang skalanya cukup beragam terjadi di 10 Provinsi di Indonesia. Sedikitnya terdapat 585 kasus kekerasan dalam Pilkada yang mengakibatkan korban tewas sebanyak 47 orang, cedera 510 orang, bangunan rusak 416 buah. Kemudian International Crisis Group (ICG) mencatat sejak pemberlakuan Pilkada langsung di Indonesia, sekitar 10% dari 200 Pilkada diwarnai aksi kekerasan.   

Selain konflik di atas, lahirnya Gubernur, Wali Kota dan Bupati sebagai prodak dari Pilkada langsung kinerjanya belumlah menggembirakan. Bisa dilihat dari peningkatan kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat. Realitasnya, akumulasi dari kinerja pemda belum mampu mengentaskan ketiga masalah fundamental ini.

Penyebab kurang maksimalnya kinerja pemda boleh jadi tergantung pada kemampun kepala daerah dalam menyusun visi, misi, tujuan dan program strategis yang didasarkan pada kajian mendalam. Memiliki moral yang baik, menjadi contoh dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Dapat mengelola pembangunan daerah dengan benar, serta melibatkan masyarakat melalui saluran demokrasi yang tepat.

Persoalannya adalah ada kecenderungan kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung, kehilangan kosentrasi menjalankan program yang telah dirancang. Menurut Agus Riewanto, penyebab utamanya adalah:

Pertama, sistem Pilkada langsung yang menyaratkan calon diusung melalui pintu parpol, berakibat pada jual beli kenderaan parpol dengan harga puluhan juta, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Konsekuensi ekonomi-politik tertentu dengan kepala daerah dan parpol pengusung tak terhindarkan. Karena itu, energi kepala daerah terbagi untuk memberi fasilitas khusus pada parpol pengusung.

Kedua, penyesuaian dengan kinerja birokrasi/PNS pemda. Biasanya kepala daerah yang terpilih tidak punya pengalaman cara kerja birokrasi pemda. Bukan tidak mungkin aparat birokrasi pemda lebih paham dari kepala daerah tentang urusan pemerintahan daerah. 

Ketiga, kepala daerah terpilih hanya didukung suara minoritas di DPRD. Untuk itu, segala upaya dilakukan agar keharmonisasian dengan DPRD tetap terjalin. Kalau tidak, kepala daerah akan tersandra oleh DPRD. Akhirnya, konpensasi dan konsesi politik-ekonomi yang sangat menguntungkan parlemen daerah adalah opsi yang harus diambil.

Memang untuk meminimalisir kesenjangan di atas, jalur independen para calon kepala daerah adalah alternatifnya. Hanya saja, sering berjalannya waktu, calon independen ketika terpilih menjadi kepala daerah, perlahan-lahan masuk menjadi anggota parpol karena aspek keselarasan dengan parlemen daerah yang notabenenya kader parpol.

Potret di atas, merupaka realitas di depan mata. Realitas ini harus disikapi dengan bijak dan kehati-hatian. Kontestasi Pilkada langsung di lapangan polanya sama, hanya pemainnya saja yang berbeda. Kemasan isu, janji, kampanye dan berbagai macam rayuan publik siklusnya sama.

Kampanye, pidato terkesan monoton dan tidak berisi-artikulatif. Para kontestan bangga dengan hal ini, bahkan terlihat begitu semangatnya berteriak di atas panggung, diiringi sorai-meriah dan tepukan tangan dari khalayak ramai yang diajak/dipengaruhi oleh tim sukses untuk menyaksikan momen ini. Bintangnya pada saat itu adalah para calon yang dikemas bak superman oleh tim sukses.

Tafsir demokrasi semacam ini tidak tepat. Pengabaian terhadap kebutuhan dasar rakyat seperti kesehatan, ekonomi dan pendidikan merupakan pengingkaran terhadap nilai dan semangat demokrasi itu sendiri. Jika demokrasi maupun prodak Pilkada langsung tidak berefek pada kebutuhan dasar masyarakat, patutlah masyarakat bertanya, pilkada untuk siapa. Selamat berdemokrasi di tengah Pandemi Covid-19. Semoga bermanfaat.


PENULIS: RASID YUNUS
PUBLISH: PH

1/Post a Comment/Comments

  1. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh... Sy sngat setuju dan spndpat dgn Bpk tapi kira" tawaran solusinya ap ya Pak? Terima kasih��

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama