Cerita pilu tentang pesimisme kehidupan dan masa depan nelayan kita mengalami dinamika yang dahsyat. Sangat berbeda dengan cerita nelayan di masa lampau. Artikulatif cerita dan imajinasi menjelaskan bahwa angin dan badai serta hantaman gelombang ombak di lautan ternyata bukanlah hal tersulit dihadapi nelayan kita. Dalam istilah Sangir-Talaud ‘Samohe Kai Kagahe’ yang mengandung makna bahwa gelombang adalah tantangan kehidupan.
Namun eksistensi kelestarian sumber daya kelautan yang terancam menjadi kerisauan dan tantangan berat bagi nelayan. Olehnya, saya mencoba menguraikan cerita itu melalui tulisan ini, untuk dapat dijadikan sebagai bahan renungan kita semua. Selanjutnya saya ucapkan selamat membaca.
Secara historis, konseptualisasi ‘Tanah Air’ terdapat dalam risalah sidang BPUPKI tahun 1945 menjadikan konsep ‘Tanah Air’ sebagai pemersatu wilayah negara. Indonesai terlahir dengan dua pola karakter negara yang diwarisikan nenek moyang, yakni kehidupan agraria (mencakup sawah-dataran), dan maritim (mencakup laut-persungaian).
Dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang terdiri atas 18.108 pulau yang tercatat dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sesudah Kanada. Luas perairan atau wilayah laut Indonesia yaitu 5,9 juta km2, yang terdiri dari 0,4 juta km2 perairan teritorial, perairan nusantara seluas 2,8 juta km2, serta Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Kondisi geografis ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia (Manuputty, dkk, 2012).
Apa yang dituliskan oleh Manaputty membuktikan bahwa potensi sumber daya kelautan di Indonesia sangat luar biasa dan menjanjikan keberlangsungan hidup negara dan rakyatnya. Terlebih bagi masyarakat pesisir yang memiliki profesi dibidang kelautan, tentu mereka menggantungkan kehidupannya pada sumber daya laut.
Ungkapan melayu ‘Jales Viva Jayamahe’ yang artinya ‘di laut kita jaya’, merupakan slogan yang seyogyanya dapat kita wujudkan secara nyata sebagai wujud dari sebuah keberhasilan negara yang memiliki kekayaan laut dengan wilayah yang terpampang sangat luas.
Niemejer seorang sejarawan Belanda menuliskan dalam hasil karya imiahnya “A Sea of Histories – a History of the Seasa” yang mengandung arti laut sejarah – sejarah laut. Lalu kemudian dipertegas lagi oleh Wallcot dengan sebutan “the Sea is History” yang artinya laut adalah sejarah. dikatakan sejarah itu adalah kehidupan, maka laut adalah kehidupan. Ungkapan-ungkapan ini mempertegas bahwa laut adalah kehidupan aktifitas manusia yang tidak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan aktifitas di daratan (S. Zuhdi, 2014).
Di sisi lain juga dikatakan bahwa laut merupakan sumber daya kehidupan yang sangat luar biasa. Ia memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dari sumber daya di darat. Sebagaimana ciri lahan agraris, maka kita harus lebih dulu menanaminya baru dapat dipanen. Tidak demikian halnya dengan sumber daya di laut. Pertanyaannya siapa yang menanam ikan di laut? Bukankah kita tinggallah mengambil ikan dengan cara menangkapnya?
Laut memberikan peluang terhadap sumber daya-nya untuk dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Olehnya, dengan ini keanekaragaman kekayaan laut dan kualitas kekayaan laut tergantung dari pengendalian dan pelestarian lingkungan laut. Rusaknya salah satu ekosistem laut akan menyebabkan terganggunya sistem rantai atau siklus kehidupan yang terdapat di laut.
Realitasnya, justru berbanding terbalik. Inilah yang kemudian menjadi cerita pilu soal pesimis masyarakat nelayan yang disebutkan di atas. Kenyataannya bangsa ini tidak memandang laut sebagai hal yang utuma. Sehingga meskipun kita dikenal sebagai negara maritim dengan laut yang membentang cukup luas, namun orientasi kepentingganya lebih pada kepentingan daratan. Inilah yang menjadi salah satu faktor betapa kecilnya perhatian bangsa dan negara ini terhadap eksistensi kehidupan laut.
Tidak heran masalah di bidang kelautan banyak bermunculan, pencurian ikan oleh kapal asing, penyeludupan, perampokan, dan pencemaran atau perusakan sumber daya laut (destructuf fishing). Hal ini masih juga menunjukkan bahwa betapa rendahnya orientasi kebijakan terhadap kepentingan sumber daya laut. Padahal secara substansial Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mengamanahkannya dalam Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Betapa tidak, kecemasan ini sangat dirasakan oleh nelayan yang masih tetap support menjaga kelestarian laut. Dengan konsekuensinya mereka harus menerima secara nyata dan sukarela soal kondisi keruskan laut akibat ulah dan kejahilan tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab. Meski demikian mereka harus berjuang mempertahankan kehidupan dengan sumber daya laut yang terus dieksploitasi selayaknya perbuatan ‘makar’.
Sebagai negara maritim, sebetulnya bangsa ini mengalami kesulitan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut. Indonesia telah mengalami degradasi lingkungan laut yang sangat serius. Di mana terumbu karang yang merupakan tempat berlindungnya ikan dan juga sebagai tempat pemijahan ikan kini sangat memprihatinkan.
Hasil observasi yang dilakukan melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation Management Program) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (COREMAP LIPI), hanya 6,83 persen dari 85.707 km2 yang ada di Indonesia yang masih berpredikat baik. Sementara dalam 50 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang meningkat dari sekitar 10% menjadi 50% (Bernhard, 2015).
Sedangkan untuk wilayah Provinsi Gorontalo dari ±30.243,75 ha kawasan terumbu karang, tersisa ±19.336,25 ha terumbu karang yang baik, dan sisanya ±10.907,50 ha masuk dalam kategori rusak. Pohuwato sebagai salah satu wilayah administratif Gorontalo dengan luas terumbu karang ±21.685,11, tersisa ±12.183,11 yang baik dan ±9.502,00 dalam kategori rusak.
Angka kerusakan ini merupakan angka yang cukup besar. Angka kerusakan kawasan terumbu karang yang paling tinggi adalah Pohuwato dengan angka hampir mencapai 50%. Belum lagi data hasil obeservasi ini merupakan data terlama, kurang lebih diperoleh tahun 2014. Sehingga dapat dipastikan bahwa angkanya terus bertambah dengan adanya kegiatan-kegiatan pengeboman yang kerap terjadi di wilayah perairan laut Pohuwato.
Ditambah dengan kebijakan pengawasan yang tidak lagi menjadi kewenangan kabupaten, di mana sepenuhnya pengawasan terkonsentrasi dan menjadi kewenangan provinsi, sehingga rentan-kendali pengawasan cukup jauh dan tidak maksimal. Padahal wilayah perairan laut Pohuwato masih menjadi bagian dari Teluk Tomoni, yang dikenal sebagai jantung terumbu karang dunia (coral triangle).
Poerwadarminta mengatkaan bahwa lingkungan yang lestari berarti lingkungan yang tetap selama-lamanya kekal, tidak berubah sebagi sediakala. Sementara usaha melestarikan berarti menjadikan (membiarkan) lingkungan tak berubah dengan adanya keserasian dan kesesuaian. Penjelasan di atas, menegaskan bahwa antara lingkungan dan kondisi kehidupan manusia harus memiliki kesesuaian atau hubungan timbal-balik yang saling memberikan keuntungan (Soemarwoto, 2004).
Penjelasan Poerwadarminta tersebut berbanding terbalik dengan kondisi yang dirasakan nelayan saat ini. Justru sumber daya laut kita saat ini terancam rusak total berbeda dengan kondisinya sediakala. Sumber kehidupan nelayan semakin terancam dan perlu untuk dibela untuk diselamatkan.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/PERMENKP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik(seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Semua aturan Undang-Undang menjanjikan adanya keberlangsungan sumber daya, kelestarian dan kedaulatan laut. Sebut saja supermasi hukum kita masih terbilang lemah sehingga tidak mampu memberikan efek jerah pada pelaku perusakan dan eksploitasi sumber kekayaan laut terus terjadi (destructuf fishing).
Pertanyaan kemudian, siapa lagi yang akan membela dan menyelamatkan laut kita ? jika supermasi hukum lemah, arah kebijakan pemerintah tidaklah jelas, LSM, Ormas, Orsos pun memilih apatis. Melihat kondisi ini, maka harapannya mungkin masih ada pada kaum-kaum millenial yang idealismenya masih konsisten dan terjaga. Melalui fungsi dan keberdayaan organisasi-organisasi Paguyuban yang menghimpun kaum-kaum millenial serta terlahir atas dasar doktrin kedaerahan, maka sumber daya kelautan kita penuh pengharapan besar bahwa kelak nanti akan lahir gerakan pembelaan dan penyelamatan sumber daya kelautan kita.
Semoga
bermanfaata...!!!
Penulis:
Supriyanto Y. Mohi
Editor: Rasid Yunus
Publish: Pebriyanto H
Posting Komentar