Desain Miniatur Bangsa yang Gagal, KPML Perlu Mengambil Peran

 Oleh:

Supriyanto Mohi

Suguhan tulisan bernilai ini, berangkat dari sikap menggerutu penulis saat mengamati, membaca dan menyelami realitas kehidupan di sekitar, dan bangsa ini pada umumnya. Realitas yang penuh dengan resistensi di kalangan masyarakat, baik masyarakat secara vertikal maupun horizontal. Selanjutnya selamat membaca.

Kita semua tahu, bahwa melalui Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya pada Alinea Keempat, secara jelas bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi ini soal tujuan berbangsa dan bernegara, yakni: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mewujudkan amanah di atas, maka bangsa yang besar ini membutuhkan pengaruh generasi muda sebagai penyuplay kekuatan bangsa dan terkadang dianggap sebagai lapisan masyarakat yang memiliki kekuatan lebih (super power).

Perjalanan bangsa ini, sepuluh, dua puluh tahun kedepan tergambarkan pada kondisi generasi muda di zaman terkini. Oleh karenanya, generasi muda disebut sebagai miniatur bangsa. Maka pada titik ini, mari sejenak kita mengajak akal sehat untuk berefleksi-berkontempolatif soal perwujudan nilai-nilai sosial dalam mencapai tujuan bangsa, dengan berkaca pada wajah generasi bangsa kekinian dan kita termasuk di dalamnya.

Disadari maupun tidak, bangsa ini masih terjebak pada sebuah arus kegagalan panjang dalam mempersiapkan bibit-bobot generasi sebagai miniatur bangsa. Terlalu jauh kita bergulat dengan imajinasi soal wajah bangsa ke depan.

Cobalah lirik kembali para tokoh yang mungkin dibangga-banggakan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu dan menjadi evaluasi wajah bangsa kekinian. Cukup banyak yang terjerat kasus korupsi. Sebagaimana sajian data berikut ini, bahwa koruptor yang paling banyak ditangani oleh KPK di tahun 2019 adalah anggota DPR Pusat dan Daerah yang jumlahnya sampai 255 perkara, bahkan pun tercatat ada 130 Kepala Daerah, 6 Pimpinan Partai Politik, dan 27 Kepala Lembaga atau Kementerian (www.narasi.tv).

Masihkah kita tidak berani berasumsi bahwa bangsa ini berada pada kegagalan mendesain miniartur bangsa. Meskipun dalam tulisan ini tidak disajikan data yang akurat, namun realitas soal pembangunan dan pengembangan manusia kita masih sangat buruk. Pendidikan formal sebagai sarana untuk mendesain generasi masih terbilang gagal.

Pendidikan formal saat ini tidaklah menjadi parameter keberhasilan dalam mencetak generasi. Masih cukup banyak dan tidak jarang kita jumpai soal kasus-kasus kenakalan yang melibatkan pelajar remaja baik siswa maupun mahasiswa berupa tauran, pergaulan bebas, miras, narkoba atau sejenisnya, dan berbagai mancam bentuk pergeseran nilai menjadi hal biasa yang dilakukan sebagai cerminan kegagalan dalam membangun manusia melalui (pendidikan) yang seutuhnya.

Bagaimana tidak ini dapat terjadi, sementara suplemen publik yang dikonsumsi oleh generasi cukup mendukung lajunya kerusakan moral generasi. Keseharian anak-anak remaja dipengaruhi oleh lingkungan yang tercemar soal akhlak dan moralnya. Banyaknya tontonan film yang tidak mendidik, pemanfaatan media sosial pada hal-hal yang tidak positif, peredaran miras, dan pergaulan bebas yang tidak terkontrol. Sedangkan pendidikan tidak mampu memproteksinya.

Bahkan menjadi ironi eksistensi pemuda dengan gelar dan berpendidikan tinggi terlibat tampil pada wilayah politik praktis tidak mengambil bagian sebagai generasi perubahan justru terkontaminasi dengan politik hitam. Disinilah letak kegagalan bangsa dalam membangun sebuah peradaban. Ini bukanlah demagogi untuk menghasut generasi kekinian. Akan tetapi sebagai renungan untuk menata masa depan bangsa.

Negara yang sejahtera dan cerdas sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah negara yang memiliki kekuatan (power) dalam pembangunan dan pengembangan manusia serta perawatan masyarakat sebagai penopang pembangunan Nasional (Suharto, 2014).

Dalam membangun dan mengembangkan manusia, kita perlu menekan keterbelakangan moral, kebodohan, serta fungsi dan kapasitas lembaga-lembaga isntitusi lokal, Ormas, dan Orsos yang tidak efektif sehingga menjadi bagian dari manifestasi kemiskinan bangsa.

Kemiskinan tidak hanya mencakup kemiskinan secara fisik berupa rendahnya pendapatan (income poverty), ataukah soal rumah tidak layak huni, akan tetapi kemiskinan juga mencakup masalah sosial keterbelakangan moral, kebodohan, dan lain sebagainya.

Maka dengan ini, paling tidak KPML (Kesatuan Pelajar Mahasiswa Lemito) sebagai organisasi Paguyuban yang menghimpun pemuda dan generasi potensial di Daerah mengambil bagian untuk keluar dari lingkaran kegagalan tersebut. 

Eksistensi KPML seyogyanya tampil menjadi organisasi yang berani bersikap untuk memberikan dedikasi dalam mencetak dan mendesain generasi hebat guna menekan manifestasi kemiskinan dan melawan kegagalan yang dimaksudkan pun, menjadi orgnisasi yang benar-benar taat dan konsisten menjalankan tugas sebagaimana amanah konstitusi.


Penulis: Supriyanto Mohi
Editor: Rasid Yunus
Publish: PH

1/Post a Comment/Comments

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama